“Jika
harus mengabdikan sebagian hidupku demi kebahagianmu, Nak! Saya akan memilih
pilihan sesulit apapun…”
Matanya
nanar, mulutnya mengap-mengap menahan kantuk. Bulu kuduknya merinding, tak
tahan dengan tusukan udara dingin pagi buta ini. Papan informasi bandara perihal
kedatangan ibundanya jelas, pesawat dari Jakarta yang ditumpangi ibunda sudah
posisi landing. Kedua kakaknya sudah
mengambil posisi pas di depan pintu
kedatangan penumpang pesawat. Meskipun tidur
lelap ketiga bocah ini terusik hanya dengan sekali tepukanku, kakak sepupunya.
Ketiganya sadar dan langsung berlompat. Subuh ini ibunda yang sepanjang tahun
ini tak menemani hari-harinya, ibunda yang tak putus menasehati lewat suara di
ujung telepon, ibunda yang tiap bulannya tak putus mengirimkan lembar-lembar
rupiah untuk uang sekolahnya, tak lama lagi secara fisik akan mendekap tubuh
kecil mereka.
Sudah
berapa puluh manusia keluar di pintu kedatangan, tetapi sosok mungil yang
dinanti-nanti belumlah menunjukkan batang hidungnya. Si bungsu berumur lima
tahun ini lagi-lagi menguap panjang. Ekor matanya melirik seorang anak kecil
yang memeluk robot mainan, berjalan beriringan dalam pelukan ibu dan ayahnya.
Entah apa dipikiran bocah lima tahun ini. Sebagai kakak sepupu, saya miris melihat mimik
polos bocah bernama Alfat ini. Ada keinginan yang sangat besar di sana. Tangan
saya lantas meraih tangannya, menggenggam dan mengalihkan perhatiannya ke pintu
kedatangan.