Menikah, adalah hal mutlak yang
sudah pasti diimpikan semua manusia-manusia dewasa. Kaum perempuan, boleh jadi
pemimpi terbanyak yang ingin merasakan indahnya berumah tangga. Dilandaskan keinginan untuk memiliki pelindung dan pemimpin
di balik kelemahannya. Di usia yang tak lagi remaja, tentunya menikah menjadi
pilihan tebaik untuk lebih menyempurnakan selagi menyeimbangkan hidup. Dan banyak
kejadian, rezky orang (terutama laki-laki sebagai kepala keluarga) justru akan
terbuka lebar setelah Ia menikah. Rezky sang anak, bisa jadi diturunkan Allah
melalui orangtua.
Dalam Al-Qur’an pun jelas menyerukan
menikah (Q.S AR-Ruum:21). “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
diciptakan-Nya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu
mendapat ketenangan hati ,dan dijadikan-Nya kasih sayang diantara kamu.
Tapi yang perlu
digarisbawahi ialah bahwa tak hanya rezky dan kematian saja yang misteri. Jodoh adalah termasuk urusan yang
sangat misterius. Semua tergantung dari izin dan ridho Sang Khalik. Mengenai
perjumpaan, kemudahan, kesulitan, dan jalannya pun tak ada satu manusiapun yang
bisa menebak. Dalam banyak hal, semua rencana bisa terbalik seperti membalikkan
telapak tangan. Perjuangan bertahun-tahun untuk merengkuh calon pasangan
sebagai jodoh, bisa jadi gagal secepat kilat. Begitupun perjumpaan yang secepat
kilat, bisa berbuah datangnya jodoh yang tak disangka-sangka. Sangat rumit
untuk bisa menerkanya. Dan terlalu pongah, jika bisa menunjuk seseorang adalah
jodoh sejati kita. Tuhan adalah perancang skenario terbaik untuk
hamba-hambanya.
Beruntunglah mereka, yang di usia
idealnya telah menemukan belahan jiwanya. Hidup indah, dan dikarunia buah hati pelengkap
kebahagiaannya, buah hati sebagai generasi yang kelak bisa menghubungkannya
ke syurga. Tapi hidup selalu adil untuk
orang-orang yang senantiasa bersyukur. Sejuta kebahagiaan besar lain tak boleh
dikesampingkan, meski kebahagiaan berumahtangga belum di genggaman. Terhadap
mereka yang di ambang umur masihlah sendiri, belum menemukan pendamping
hidupnya. Selalu saja ada pertanyaan kenapa Tuhan belumlah mengirim manusia
terbaiknya. Apakah benar, menikah adalah hak prerogatif masing-masing orang! Wallahu A’lam. Semua tentu atas izin-Nya.
![]() | |
Sepasang Pengantin |
Terlambat menikah terkhusus bagi kaum perempuan, seperti momok menakutkan yang kerap menghantui
hari-hari. Apalagi paham primordial yang kerap memojokkan, mencibir, dan
melekatkan label ‘tidak laku’ dikarenakan belumlah menikah. Hal ini tentunya
menambah beban psikis yang ditanggung sang perempuan. Tidak ada satu perempuan
di muka bumi ini yang secara naluri tidak ingin mengecap nikmatnya berkeluarga.
Bersama-sama pasangan hingga usia senja, dan menjemput sukses bersama-sama.
Semandiri-mandirinya seorang perempuan, dia tetap membutuhkan seorang
pebijaksana yang bisa menenangkannya menghadapi getirnya hidup. Sebaliknya pun
demikian. Setangguh-tangguh dan setingginya jiwa petualang pria, kelembutan
perempuan tetap dibutuhkannya untuk membangun semangatnya.
Pertanyaannya kemudian, apakah cepat
menikah menjadi tolak ukur kebahagiaann seseorang. Lantas, yang belum menikah
hanya menjadi sang pujangga malam yang hanya
duduk termangu‘menunggu’? Miris memang, ketika kita menyikapinya dengan pikiran
dangkal. Serasa mendikte Allah agar cepat-cepat dikirimkan pasangan yang
diinginkan.
Umur saya menjelang 26 tahun saat menulis ini. Dan saya
menulis ini sebagai bahan renungan, dan instrospeksi diri di masa penantian
mendapat jodoh dari Illahi. Izinkan saya mengurai apa yang tertanam di hati
saya saat ini. Mungkin hal yang sama juga dirasakan oleh sebagian perempuan. Ketika
satu pertanyaan yang bisa seketika menohok ke sanubari terdalam. Pertanyaan
yang ketika terlontar membuat kelu seluruh urat syaraf. Pertanyaan yang bisa
tumpah ruah kapan dan dimanapun kita berada. Kapan Menikah?
Kamu tahu tidak, dentuman yang saya rasakan ketika mendengar
rekan seumuran satu-persatu telah menemukan kekasih halalnya.
Silih berganti undangan pernikahan teman menjadi trend menyambung silaturahmi. Kamu tahu tidak, getir teramat dalam,
kala menghadiri acara aqiqah anak pertama, kedua, bahkan ketiga teman
sepermainan kita ? Kamu tahu tidak, tangis yang terbendung kala menyaksikan
bocah kecil dengan tingkah khas nya merengek-rengek kepada ayah ibunya yang
merupakan teman seangkatan kita. Rasanya seperti ditampar berkali-kali.
Pemandangan yang sangat indah di depan mata. Tetapi di bagian lain ada bagian
tubuh yang merasakan perih tersayat-sayat.
Saya bukannya tak senang melihat
itu, kawan. Justru saya sangat bahagia melihat potret kemesraan kalian. Sangat.
Hingga lirih di lubuk hati terdalam menginginkan kebahagiaan yang terpampang
itu bisa berlangsung selama-lamanya.Tapi, bukankan kita diciptakan dengan
naluri cinta yang mendalam. Jujur, saya ingin sama dengan kalian. Saya ingin
berada di posisi itu juga. Saya ingin mengecap nikmat kebersaman yang juga
kalian rasakan. Terkadang di tempat keramaian, jujur batin saya merintih.
Laksana formasi bintang nan indah di
atas sana, orang di sekeliling kita telah berhasil memetiknya. Dan saya masih
terjebak oleh pusaran waktu. Tapi bukankah, jauh di atas sana ada Sang Maha
Tahu, kapan waktu yan tepat mengabulkan do’a hamba-hambanya.
Berharap terlalu besar kepada sesama manusia pun, bukan opsi
yang tepat untuk membuang kegalauan itu. Sebab, ketika harapan itu kandas di
tengah jalan, kekecewaan dan depresi yang akut malah akan menerkam. Dan tentu
saja akan berpengaruh terhadap aktifitas keseharian kita.
Saya telah melewati itu,
menggantungkan harapan setinggi-tingginya kepada sesama manusia. Dan ketika hal
itu di luar ekspektasi kita. Maka yang terjadi apa?Rasa kecewa itu akan beranakpinak.
Menggerogoti seluruh ruang-ruang positif dalam diri. Hingga ruang negatif
penghasil pikiran negatif lah yang akan kita dapatkan. Ibarat pepatah, sudah
jatuh malah tertimpa tangga pula. Dan alhasil, segala hal yang menjadi penyebab
kandasnya harapan kita menjadi penilaian negatif yang diputuskan mentah-mentah.
Tragis memang.
Persoalan jodoh, Tuhan memang begitu cerdas menguji
kesabaran kita. Saya bahkan sempat lupa, bahwa Tuhan tidak akan
membiarkan hambanya berlarut-larut dalam kesengsaraan dan kesendirian, kecuali
akan ada kebahagiaan besar yang menghampiri. Ajaib bukan! Akan ada kebahagiaan
besar yang disimpan Tuhan. Mari mengindahkan diri dalam kesabaran. Jangan
terlalu fokus pada persoalan pernikahan, siapa yang kelak akan menjadi jodoh
kita biarlah menjadi wewenang Sang Khalik. Dia sungguh telah menjaminnya dalam
Al-Qur’an Q. S An-Nur :26. “Wanita-wanita yang keji
adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula)”. Sudah pantaskah kita menjadi dan mendapatkan yang baik itu? Dan
lagi, introspeksi diri adalah jawabnya.
Yang menjadi persoalan adalah kita hanyalah perempuan biasa
yang terbentuk dengan kelemah-lembutannya.
Ketahuilah Kawan! Pertanyaan kenapa belum menikah itu, sungguh merobek
ketegaran. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita focus meng-upgrade
diri. Terus menambah kualitas diri, mengumpulkan ilmu dari beragam penjuru,
mengasah bakat yang sempat terbengkalai, dan yang utama menjadi pribadi dan
muslimah yang baik di mata Allah. Saya tak risau sedikitpun dengan janji Allah
tentang jodoh. Saya hanya risau dan takut, ketika tak bisa menahan tangis di
hadapan kalian, saat pertanyaan ‘Kapan Menikah’ itu berdengung hebat.
Pertanyaan itu seperti bom waktu yang bisa meledak kapan
saja. Meski sadar, pertanyaan itu tak lebih dari bentuk kepedulian orang-orang
yang menyayangi kita. Tapi cukuplah saya menyimpan kerinduan dalam bait-bait
doa, berlinangan bercerita hanya di depan Sang Khalik, menyimpan segala rindu
itu di sepertiga-sepertiga malam. Serta senantiasa bersyukur akan sejuta nikmat
yang lainnya. Tapi tolong sekali lagi, jangan mengoyak ketegaran ini dengan
pertanyaan,‘Kapan Menikah’.
0 komentar:
Posting Komentar