Alisnya tebal. Diperindah dengan bulu mata yang lentik. Bibir
yang tipis menyempurnakan pesona ayunya kala
menyunggingkan senyum. Mata sendu dengan
hidung yang nyaris bangir, menambah kesempurnaan estetika di wajahnya. Ditambah
postur tubuh yang tinggi padat dengan kulit putih yang melekat. Rambut panjang indahnya terurai menyentuh
setengah lengannya, memberi keanggunan tersendiri jika melihatnya berlenggok.
Dialah Bunga, teman baik saya selama hampir dua setengah tahun
ini. Pekerjaan saya yang menuntut analisis data pengunjung hotel tiap bulannya,
mengantarkan saya menjalin hubungan baik dengan perempuan ramah ini. Dia
sebagai staf administrasi sebuah hotel kelas melati di daerah saya. Dan melalui
dia-lah , rekapan data hotel itu saya kumpul tiap bulannya. Kami sering
berdiskusi panjang, dari masalah tamu
hotel yang cerewet, tamu yang makin sedikit, hingga perkembangan hotelnya yang stagnan. Dan
sudah dipastikan, tawa renyahnya pasti melekat manis sepanjang obrolan kami.
Usia yang seumuran,
membuat kami memiliki banyak kesamaan sebagai perempuan. Umur kami hanya
terpaut tiga bulan. Obrolan-obrolan kami selaras, dalam banyak hal. Dia
ternyata lebih dewasa dari yang kusangka. Ketika bertemu dengannya, kami saling
tertawa lepas. Menghayalkan banyak hal, mengoreksi kenakalan-kenakalan masa
lalu, mengimpikan masa depan yang penuh bahagia, dan mencurahkan sekantung asa
tentang pendamping hidup. Untuk soal ini, kami menguraikannya dengan waktu dan
tawa yang panjang. Maklum, kami dengan kesamaan umur di seperempat abad
tentunya memiliki harapan yang sama soal pendamping hidup kelak. Kami berdua
masih sendiri, itu yang saya ketahui.
Memiliki kepribadian ekstrovert membuat saya blak-blakan
dengan semua teman. Terkhusus dia, yang menjadi teman baik saat ini. Saya
memilihnya sebagai tempat mencurahkan segala kesedihan, kesal, dan kecewa. Apalagi
kesamaan kami yang berada jauh dari orangtua. Dia begitu dewasa mencerna setiap
masalah yang saya ceritakan, dan memberi solusi dan jalan keluar terbaik. Belum
lagi nasihat-nasihat bijaknya yang seperti angin sejuk. Sejuk karena dia
menyarankan melihat semua masalah dari perspektif positif. Tidak menyalahkan
keadaan, sebaiknya memintaku untuk senantiasa bersyukur akan masalah-masalah
yang menghadang.” Bukankah husnudzon itu menyejukkan jiwa? Tuhan itu pintar”,
itu kalimat andalannya tiap kali saya berbagi cerita pahit.
Tak jarang saya bertanya padanya. Apakah kamu tidak punya
masalah selama ini. Saya rasa-rasa kok hidupnya datar-datar saja. Tidak pernah
bahkan dia menceritakan satu peristiwa pahit yang dialaminya. “Apakah kamu
tidak percaya dengan saya?” Tanyaku tiap kali kudesak kenapa tidak pernah
berkeluh-kesah padaku. Bukankah kita bersahabat. Saya pun ingin tahu tiap
potongan hidupnya, entah itu suka maupun duka.
Karena tiap kali bertemu, obrolan kami hanya membahas seputar potret
kehidupan saya. Tentang keluhan-keluhan saya, tentang hubungan vertikal saya
dengan Tuhan, dan permasalan horizontal saya dengan sesama manusia. Dia pun hanya
semangat bercerita tentang keluarga besarnya di Kabupaten Barru, saudara-saudaranya
yang menyebar, tentang kebahagiaannya bekerja di hotel kelas melati meski
dengan gaji standar, tentang tipikal
pimpinannya, tentang keinginannya berhijab yang belum bulat, tentang kenyamanan
tempat kost-nya, dan tentang masa depan indah yang diyakininya.
Dia menceritakan
semua dengan energi dan sudut pandang yang positif. Seolah-olah Tuhan tidak memberinya
sekaliber masalah dan ujian hidup. Seolah-olah tidak ada kegetiran di muka bumi
ini. Masalah hanyalah kamuflase dari sebuah kebahagiaan besar yang dijanjikan
Tuhan. Temanku ini benar-benar menikmati bagian hidupnya dengan rasa bahagia yang melimpah. Senyumnya
yang terus mengambang seolah memancing justifikasi akan hidupnya yang senang,
berbalut sukacita. Saya benar-benar iri dibuatnya. Yang sangat tidak bisa
menyembunyikan tiap masalah yang sedang berkecamuk di hati. Saya yang doyan
mengeluh, sangat bertolak belakang dengannya yang pandai bersyukur.
Saya kadang usil dan mengganggunya. Pasti dengan rupa cantik
nan jelita itu, dia memiliki banyak fans yang memujanya. Dia lagi-lagi dengan
jurus andalannya. Tersenyum dan berujar bahwa Tuhan itu pintar. Dia tahu kapan
waktu yang tepat melepas hambanya dari kesendirian. Sendiri telah dipilihnya
dari dulu. Telah bertahun-tahun. Tidak penting memikirkan soal pasangan. Karena
menikmati proses hidup itu lebih indah. Bersyukur adalah juaranya. Saya benar-benar
terperangah mendengar jawabannya. Dia cantik dan menarik, tetapi lebih memilih
sendiri, di usia yang sudah sangat matang.
Hingga dua tahun hubungan persahabatan kita. Satu waktu,
saya tiba-tiba ingin bertandang ke tempat kost-nya. Dia memang pernah
menceritakan letak tempat kost-nya yang sangat mudah ditemukan di perbatasan
kota. Dan saya dengan mudahnya bisa mendapatkan alamat yang dimaksudnya. Yah,
dari dulu memang dia kerap menawariku bertandang ke tempatnya. Untuk mengetahui
lebih dalam lagi kebahagiaannya, katanya waktu itu.
Hingga sebuah fakta mengejutkan akhirnya menyadarkan saya. Dari
sebuah bilik kamar triplek yang disewanya dengan ukuran 3x4 m. Di sudut-sudut
kamar dipenuhi dengan boneka-boneka pink,
robot mainan, tas sekolah anak-anak, buku-buku yang berserakan, serta peralatan
makan yang seadanya. “Bunda, ada temanta”, lantang seorang bocah laki-laki. Kenyataan ini seperti menampar saya seketika.
Inikah kebahagiaan lain yang Bunga maksud. Diumur yang sama denganku, dia harus
membagi perhatiannya dengan dua bocah sekaligus. Seorang diri. Rasa-rasanya
saya tak berniat untuk membayangkan posisinya. Saya menatapnya tajam. Lagi, dengan senyum renyahnya dia menjelaskan.
Ini kebahagiaannya. Hidup bersama dua orang anak kandungnya. Anak pertamanya
perempuan, yang telah duduk di kelas 1 SMP, dan yang kedua bocah laki-laki yang
masih duduk di kelas V SD.
Dia menjelaskan semuanya. Duduk di bangku SLTP Kelas III, Ia
dijodohkan dengan seorang laki-laki yang usianya 20 tahun lebih tua darinya.
Umurnya masih 14 tahun kala itu. Dia
menerima saja kemauan orangtuanya. Pernikahannya langgeng hingga dikaruniai
anak kedua. Sebelum akhirnya dia harus menyerah pada badai besar, yang
meluluhlantakkan rumah tangganya. Umur yang belumlah matang membuat matanya
terbuka lebar. Dia terperangkap dalam situasi itu. “Menikah itu persoalan
kecocokan jiwa, Shel, kami tidak cocok dan tolong jangan tanyakan mengapa,”
jawabnya datar ketika kuusik soal nasib buah hatinya setelah memutuskan pisah
dengan sang suami.
Saya hampir tak pernah membayangkan kondisi rumit yang
ternyata mengiringi hidup Bunga. Hidup bertiga dengan dua anak kandungnya.
Tanpa subsidi se sen pun dari mantan suaminya yang telah menikah lagi. Dia
harus membanting tulang. Menyekolahkan buah hatinya setinggi-tingginya. Dan menerima
semua pemberian Tuhan ini dengan penuh sukacita. Ya Tuhan. Airmata saya seolah
tertampung, menahan perih yang dialami Bunga. Masalah-masalah yang selama ini
saya ceritakan padanya, seolah tak ada apa-apanya dengan tanggung jawab besar
yang dipikulnya. Saya benar-benar tak habis fikir. Ada rahasia besar yang
tersembunyi di balik senyum renyahnya selama ini. Bagaimana bisa, di ruang
sempit itu, dia bisa mengelola hidup dengan dua bocah kecil. Membagi
perhatiannya. Bagaimana bisa dengan gaji yang hampir hanya seperempat dari
gajiku, dia bisa menghidupi dua nyawa yang masih di bawah umur!Bagaimana bisa,
diumurnya yang sama dengan umurku, dia bisa mengontrol anak gadisnya yang
menginjak remaja! Bagaimana bisa dia melalui malam-malam kelam bertiga tanpa
seorang kepala keluarga! Apakah dia tidak takut ancaman kriminal yang mengintainya
tiap saat!
Saya makin iri dengan Bunga. Dia membuktikan dirinya tak hanya
cantik, tapi juga tangguh. Saya pun jujur, tidak tahu akan berbuat apa jika
berada di posisinya. Mengurus diri sendiri saja masih repot, apalagi harus
mengurusi dua anak yang sedang tumbuh berkembang. Saya dengan sensitifitas yang
tinggi, dengan mental kerupuk, dengan keluhan yang panjang, dengan kejengkelan
terhadap orang-orang yang tidak bisa mengerti saya. Ternyata hanyalah secuil
dari sebongkah kenyataan pahit Bunga. Tapi justru sebaliknya, dia sangat
menikmati itu. Hidup bersama dengan buah hatinya di ruang yang sempit, mengejar
masa depan yang cerah. Tapi senyum lagi-lagi bisa mewakili kebesaran hati
Bunga. Bukan air mata, atau rentetan keluh kesah seperti yang kerap
kuperlihatkan. Saat hendak pulang, saya bertanya. “Apakah pendapatanmu cukup
membiayai anak-anakmu?” Dan dengan senyum cantiknya dia menjawab, “Tuhan itu
pintar, termasuk pintar mengurusi rezky anak-anakku.”
7 Oktober 2012
0 komentar:
Posting Komentar