Berbalut seragam putih abu-abu, kisah persahabatan itu kita rajut. Satu dekade lebih telah berlalu kawan, dan saya ingat betul kala pertamakali kita berkenalan. Kamu pindahan dari sekolah dan kota berbeda waktu itu. Dari kursi paling belakang, kamu melangkah riang ke mejaku, hendak meminjam majalah remaja. Disitulah awal perkenalan kita. Dua belas tahun yang lalu. Dengan kotak sejuta mimpi, engkau datang menawarkan tinta persahabatan
Tiga
tahun kita melewati hari-hari bersama di bangku sekolah. Berbicara panjang tentang
musik, Novel Kahlil Gibran, dan band favorit kita (Sheila on7) menjadi santapan
hari-hari. Kita memiliki kesamaan untuk tiga hal ini. Pembicaraan kadang
melebar ke guru Kimia dan Biologi yang terkenal ‘killer’, atau pelajaran yang
melihat rumus-rumusnya seperti membuat kepala sontak migrain, atau gosip cowok
& cewek beken di sekolah. Jiwa kita selaras dalam banyak hal. Kita sering menghabiskan waktu berjalan di
sepanjang Pantai Senggol. Ketika jam les sore selesai, sembari melihat-lihat
boneka-boneka bekas dari negeri seberang yang dijual bebas sekitar pantai.Hehe.
Kamu sering berujar, kelak masa ini akan kita rindukan.
Lepas SMU, kita berbeda haluan. Berbeda kampus
tak membuat persaudaraan kita mengendor. Kesibukan kuliah memang mengurangi
perjumpaan kita. Tapi, syukurlah kemajuan teknologi bisa menampik masalah itu.
Pun, kita masih sekota. Humm, tema pembicaraan pun mulai berubah. Ketertarikan
dengan lawan jenis menjadi wajar di usia yang menginjak dewasa. Kita sering
tertawa cekikikan membahas itu. Setumpuk
tugas kuliah, dosen ‘killer’,diktat-diktat yang belumlah tuntas dipelajari
menjadi keluhan kita kala bertemu. Saat itulah, kamu memperkenalkan seorang
laki-laki yang membersamaimu hingga kini.
Mengisahkanmu,
seperti menceritakan diriku sendiri. Di jiwaku, bersemayam jiwamu. Pun
sebaliknya. Saya seperti ‘hidup’ dan tak ingin melepas malam berlalu cepat, jika
bersamamu. Kita telah mendaki gunung kesedihan, menempuh laju kehidupan yang
selalu tak mulus. Membangun mimpi masa remaja dan dewasa bersama-sama.
Bersisian di tengah arus modernitas yang semakin menggila. Kita bergandengan
tangan mem-filter pengaruh-pengaruh buruk yang bisa kapan saja merusak cita dan
cinta kita. Kita. Remaja tanggung yang belumlah makan asam garam
kehidupan. Beruntung, orang tua
membekali kita dengan pondasi agama. Terlebih, dirimu sempat menimba ilmu agama
di pondok pesantren. Jadi kita saling mengingatkan dan menegur demi kebaikan
bersama.
Memang
benar, ucapan banyak orang bahwa jika ingin menilai corak kepribadian
seseorang, maka kenalilah sahabatnya. Kepribadian kita nyaris sama. Ditakdirkan
bersama sebagai anak sulung, mungkin menempa kita menjadi pribadi yang cepat
dewasa dan mandiri. Saya tak lagi
memperdulikan, bahwasanya orang sedarah atau sesusu-lah yang dikatakan saudara
kandung. Kamu lebih dari saudara kandungku. Persahabatan kita sungguh manis dan
hangat. Kamu mencintai keluargaku, begitupun aku mencintai keluargamu. Bukan
persoalan intensitas kebersamaan yang terlalu sering, menjadi syarat melekatnya
titel sahabat. Tetapi, siapa yang setia dan selalu ada. Itulah kamu. Belum lagi
pengorbanan dan perhatian, meskipun itu hanyalah secuil tapi mengandung pesan
kasih yang dalam. Kamu sering menanyakan kabarku, kesehatanku, kerjaan,
kesehatan orangtuaku, hingga kucing kesayanganku. Meskipun jarak dan kesibukan telah
membungkam jam-jam kita.
![]() | |
Friend Forever |
Di tepi Pantai
Senggol, di bawah temaram malam dan gerimis yang membungkus kita. Tangisku sempat
meledak. Kamu tahu itu. Aku harus mengikhlaskan selamanya seseorang, yang
bahkan sedetik pun tak bisa lepas dari alam sadarku. Kamu memegang tanganku
erat, sangat erat. Memeluk piluku. Hingga bisa kurasakan, luka mendalam itu
telah terbagi. Deru ombak jadi saksi kepedihan kita berdua. Aku sangat merasakan
itu. Tiba-tiba teringat pesan Rasulullah SAW, persaudaraan kaum muslimah adalah
seumpama satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh sakit, maka mengakibatkan seluruh
tubuh menjadi demam dan tak bisa tidur. Itulah kita. Aku selalu saja merasakan gurat-gurat
kesedihan menggelayuti wajah ayumu, ketika mendengar ceritaku. “Kamu adalah
orang yang paling beruntung di dunia ini, Shel. Banyak yang menginginkan di
posisimu”, ujarmu ketika kunyatakan jenuh dan rasa frustasiku yang hebat dengan
pekerjaan. Pun ketika kebaikanku di cabik-cabik orang lain, dirimu hadir bak malaikat.
Bahwa sesungguhnya tidak ada yang sia-sia di dunia ini, apalagi amal kebajikan.
Kelak, akan dibalas jua dengan kebaikan berkali lipat. Meskipun tidak sekarang.
Kamu
penyemangat jiwaku yang gampang ambruk. Bahkan ketika orang-orang mengatakan
aku jelek, kamu berbisik di telingaku kalau aku sesungguhnya bidadari nan
jelita. Ketika orang bercerita keburukanku, kamu membalas dengan segudang cerita
kebaikanku. Ketika orang-orang bercerita ketidakberuntunganku soal jodoh, kamu
berbisik bahwa Tuhan menyimpankan aku orang yang teramat special, karena
sesungguhnya aku adalah jiwa yang special dan kaya(kaya akhlak). Ahggg, aku
mulai rindu dengan tutur sejukmu.
Sangat sering pula, aku membangunkan tidur
nyenyakmu di pertengahan malam, atau saat ayam-ayam telah berkokok mendahului
indahnya lantunan subuh para mu’adzin.
Aku tak mengenal waktu dan tempat jika linglung. Yang terlintas di kepalaku, selain Ayah Ibu
adalah lembut suaramu. Nasehat-nasehatmu seperti oase di padang pasar.
Menyejukkan dan meredam letih. Terkadang, engkau membiarkanku dulu tertawa
lepas ataukah menangis sejadi-jadinya. Kemudian memberikan komentar. Kamu
memang pendengar terbaik yang pernah kumiliki. Rasa-rasanya jiwa yang memendam
suatu gejolak berat, akan plong jika dikeluarkan dihadapanmu.
Subuh itu,
ketika aku terbangun dan mendapati pesan BBM mu. Sang pangeran hati akan
meneruskan niat baiknya untuk meminangmu menjadi pasangan hidup. Hal yang telah
lama kau impikan, dan menjadi doa kita. Tak terlukiskan rasa bahagiaku. Doa-doa
telah dibaca Sang Pemilik Langit. Kebersamaanmu dengan kekasih hati selama
delapan tahun mendapat ridho-Nya. Usai acara Pettuada, aku dan Ibundamu dibungkam rasa bahagia dan haru. Mata
kami berkaca-kaca. Bahagia karena
sebentar lagi kamu akan mengecap kebahagiaan baru, menyimpul tali-temali
cinta dengan pasangan hidupmu. Akan ada yang mengimami shalat dan hidupmu.
Namun, rasa
sedih itu tak bisa kami tepis berdua. Selepas akad nikah, kamu akan terbang ribuan
kilometer dari kami. Hidup menjauh ke wilayah tengah Papua. Tepatnya di Wamena,
Ibukota Kabupaten Jayawijaya. Daerah yang sangat sulit dijangkau, dan
terisolasi diantara gunung-gunung menjulang yang sangat hijau. Serta bergantung
pada transportasi udara. Ini yang
membikin aku dan ibumu sedih. Belum lagi wabah penyakit Malaria yang menjamur
di wilayah ini. Namun ini sudah jalan Sang Khalik. Kamu akan turut mendampingi
suamimu bertugas di daerah terpencil itu.
Entah sampai kapan. Membangun istana cinta bersamanya.
![]() | |
Menjelang Akad Nikah Ayu |
Di
tengah-tengah euforia menjelang akad nikahmu, hati saya dihimpiti kelu. Tak
lama lagi, kita akan berpisah. Secara jarak dan waktu, tembok pemisah itu
semakin jelas membentang. Aku tidak tahu akan menemukan jiwa sepertimu dimana
lagi. Kawanku berserakan, namun keikhlasan itu saya temukan seutuhnya di
sosokmu. Aku disisipi rasa takut, takut
merindu. Karena ini bukan persoalan Maros-Pare yang bisa ditempuh dengan cepat
dan mudahnya. Namun, aku selalu membesarkan hati sendiri. Perkembangan
teknologi makin canggih dewasa ini. Kita bisa berkomunikasi via media sosial
dan apapun itu bentuknya. Jiwamu akan selau hidup bersamaku, sahabat.
Rasa haru
itu berubah bahagia dan syukur yang luar biasa, tatkala suara pangeranmu
lantang menuntaskan qabulnya dalam
sekali tarikan nafas. Dia telah berjanji di hadapan Allah SWT, dengan miitsaqan gholiidhan ‘disaksikan para malaikat,
untuk menjagamu. Mencintai dan memperlakukanmu sebaik-baiknya istri. Kelak, dia
akan menjadi pintu kebaikan untukmu dan anak-anakmu. Maka, sudah seharusnya aku
menghapus risau itu. Orang yang tepat, telah dipilihkan Allah untuk menemani
hari-harimu. Orang yang sangat baik. Allah telah membuktikan janjinya, Ayu!
Perempuan yang baik, hanya untuk Laki-laki yang baik. Selamat berbahagia saudarariku. Semoga rumahmu
kelak ibarat syurga, dikelilingi kasih sayang dan anak yang saleh salehah yang
selalu mengangungkan asma Allah. Dan tentang persahabatan kita. Bukankah di
jiwaku, bersemayam jiwamu. Begitupun sebaliknya.
0 komentar:
Posting Komentar