Saya tak
hanya belajar. Tapi juga merasa nyaman, damai, dan benar-benar ‘hidup’ ketika di sana. Mungkin
itulah barangkali komunitas ideal, menurut konsep hati saya.
Menjadi mahasiswi tentunya
menjadi dambaan anak seumuran saya kala itu. Tahun 2005 awal saya menginjakkan
kaki di universitas yang konon terbesar di kawasan timur Indonesia. Fakultas Pertanian menjadi muara ilmu saya.
Spesifik di Jurusan Agribisnis. Jurusan yang dikenal dengan julukan ‘anak tani’,
dikarenakan keseringannya melakukan praktek lapang di pedesaan dan di pemukiman
petani. Perkuliahan yang membosankan membuat saya perlahan-lahan mencari
aktifitas lain. Tahun kedua, jiwa organisatoris saya mulai terasah. Menjadi
pengurus di Badan Pengurus Harian (BPH) Himpunan memberi makna tersendiri dalam cerita
mahasiswa saya.
Bagaimana bekerjasama dalam sebuh struktur.
Struktur yang orang-orang di dalamnya tidak hanya memiliki visi dan misi yang
sama, tapi memiliki ego dan jiwa muda yang masih meletup-letup. Tapi fakta
inilah yang kemudian mengajarkan kita mengelola konflik dengan bijak, tetap
kokoh memperjuangkan aspirasi warga. Dan patuh pada AD/ART sebagai landasan organisasi
kita. Di luar jam kuliah, kami pun melaksanakan ragam program kerja yang
terkait dengan bidang ilmu. Rutin melakukan diskusi-diskusi terbuka guna pemekaran ilmu pengetahuan. Hingga
terjun langsung ke masyarakat sebagai bentuk pengabdian akan tanggung jawab
sosial kita. Karena mahasiswa yang katanya agent
of change untuk bibit baru generasi pemimpin-pemimpin selanjutnya.
Kebosanan saya di ruang perkuliahan sedikit terobati dengan keaktifan saya di
himpunan ini.
Saya sedikit beruntung dibanding teman
mahasiswa lain. Yang hanya mengecap buah-buah ilmu itu di ruang perkuliahan
saja. Padahal, kampus ini begitu besar untuk mengejar sisi-sisi ilmu lain. Saya
suka mengikuti kegiatan seminar maupun diskusi-diskusi umum yang tidak hanya
terkait spesifikasi ilmu saya. Namun juga merambah ke bidang pengetahuan lain.
Kan tidak ada salahnya juga, memperkaya khasanah ilmu kita. Apalagi jika acara
tersebut dibuka gratis untuk mahasiswa.
Hal yang sangat saya incar kala itu. Hingga menjadi peserta Diklat Dasar
Jurnalistik yang diselenggarakan oleh Penerbit Kampus (PK) Identitas kemudian membuat kegemaran menulis saya terasah. Dan di
sinilah, darah kekeluargaan saya dengan komunitas ini menyatu, hingga detik
ini.
Saya akhirnya tergabung dalam komunitas baru
yang merupakan bagian dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Unhas. Yakni Penerbit Koran
(PK) Identitas. Koran bacaan civitas
akademika Unhas yang dibagikan secara gratis, dan terbit dua kali sebulan.
Tempat ini rupanya jauh menantang dibanding aktifitas saya di himpunan jurusan.
Kita dituntut menjadi reporter kampus. Belajar menemukan masalah atau
penyimpangan yang tersembunyi, melakukan investigasi dan kroscek di lapangan, mengkritik
kebijakan-kebijakan birokrat kampus yang tak memihak pada mahasiswa. Kemudian
menulisnya dalam pemberitaan yang berimbang. Saya tertantang karena mekanisme
kerjanya jelas dan keras. Kita benar-benar dituntut profesional dan bermental
baja. Karena deadline adalah harga
mati di tempat ini. Kematangan berfikir saya perlahan-lahan terasah di
komunitas ini.
Menjadi Ketua Panitia Diklat Dasar Jurnalistik Tahun 2009 |
Seorang Kru yang Tengah Mewawancari Mendiknas |
Selama dua tahun lebih saya menjadi pengurus
aktif di keredaksian Identitas,
sebelum akhirnya saya wisuda awal 2010. Namun, di samping keseriusan kami
menjalankan tugas keredaksian di sana. Ada hal yang paling esensi telah
mendarah daging, yang membuat gerak kaki kami akan ke sana tiap kali bertandang
ke kampus merah. Yakni rasa kekeluargaan. Identitas,
yang oleh kami disebut keluarga kecil,
adalah sebuah organisasi yang berbeda dengan organisasi lain. Tak memiliki
AD/ART, tapi memiliki manajemen keredaksional yang merupakan harga mati dalam
menjalankan tugas. Pun terikat dengan birokrasi kampus, karena biaya percetakan
maupun honor-honor tulisan kami difasilitasi pihak rektorat. Meski pemberitaan
kami tak diintervensi sama sekali oleh mereka.
Perayaan Dies Natalis Pk Identitas ke 35 |
Ketika ada salah satu anggota keluarga teman
yang mengalami musibah, kami pun berbondong-bondong menyewa mikrolet datang menjenguk.
Berempati. Begitupun, ketika ada yang lagi bersukacita dan mengadakan syukuran,
kami merapat kembali ke sana. Contoh yang paling menegangkan, ketika seorang
kepala laboratorium yang datang dengan riak emosional, mencaci maki, menghujat
pemberitaan kami yang menyudutkan namanya, meskipun yang diberitakan benarlah
adanya. Kami menghadapinya bersama-sama. Seperti itulah resiko dari kehadiran
media, sekalipun hanya berskala kampus. Dan kami sebagai bagian di dalamnya
tentunya memiliki kode etik dan wawasan yang mumpuni sebagai modal kuat
bertahan di sana.
Menjadi Salah Satu Wakil Peserta Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut di Medan, 2010 |
Futsal, Sebagai Salah Satu Media Penyambung Silaturahmi |
Surprise Ulang Tahun ke 24 saya, di Sekretariat PK Identitas |
3 komentar:
Waw, bisa aktif dalam suatu komunitas itu emang seru yah mbak ^_^
Iya..Seru dan menyenangkan
komunitas yang menyenangkan... :)
Posting Komentar