(Tulisan ini dikirim ke Redaksi Varia Statistik, 11 Januari 2017)
Sebagai insan BPS, hati siapa yang tidak terkoyak
melihat tayangan salah satu televisi
nasional baru-baru ini bertajuk
“ Utak-Atik Data Statistik”. Sejak awal, narasi yang dibacakan sangat
tendensius dan menyudutkan BPS. Data BPS diduga rentan rekayasa, sarat dengan
kepentingan pihak tertentu. Yang lebih
menggeramkan, kita dituding merekayasa data untuk
menambah pundi-pundi segelintir oknum penguasa.
Tayangan ini sontak melahirkan rasa kesal, dada
bergemuruh, dan mulut yang seakan ingin mengklarifikasi semua tuduhan negatif tersebut. Bermula dari temuan Ombudsman Republik
Indonesia Indonesia, yang mengkritisi data produksi beras nasional yang semakin naik dari tahun ke tahun. Sementara
dari sisi kesejahteraan, kehidupan petani kita begitu-begitu saja. Surplus
beras yang dielu-elukan Menteri Pertanian, juga kontrakdiksi dengan apa yang
terjadi di masyarakat. Di mana harga beras di pasar jauh lebih mahal dibanding
harga di tingkat penggilingan padi. Ombudsman juga menilai ada yang ganjil,
melihat data produksi beras yang terus meroket, tetapi di sisi lain lahan sawah justru semakin tergerus.
Koreksi terhadap data kita memang bukan hal baru. Mengingat
tentu ada pihak yang pro dan kontra. Namun tayangan ini seperti menilai dari
satu sisi saja. Seperti kita ketahui, angka produksi beras/ Gabah Kering Panen
(GKP) itu itu bersumber dari pengalian
luas panen dan produktivitas. Dalam pelaksanaannya, BPS hanya bertanggungjawab
terhadap angka produktivitas, yang didapat melalui kegiatan ubinan tiap
subroandnya. Sementara luas panen menjadi tanggungjawab dari instansi teknis,
yakni Kementerian Pertanian. Metode
pengukuran luas panen dengan cara-cara konvensional dan eye estimate yang dilakukan para Kantor Cabang Dinas (KCD)
Pertanian ditengarai merupakan kontributor utama terjadinya overestimate pada perhitungan luas panen
tiap tahunnya, sehingga mendongkrak angka produksi beras nasional.
Tayangan tersebut menjadi tidak objektif, karena
presenter acara terus menggiring opini bahwa BPS adalah biang kerok terhadap
ketidakakuratan data statistik pertanian. Tanpa menelaah terlebih dahulu metode,
pihak yang terlibat, dan konsep-konsep statistik yang digunakan. Nama baik
instansi kita dicemarkan, dengan menuding ada
nominal subsidi yang dikejar berkaitan dengan peningkatan produksi beras
tersebut. Padahal, kita sama sekali tak punya kepentingan terhadap eksekusi
program-program tersebut di lapangan.
Tak hanya data pertanian. Data BPS lain, seperti
pengangguran, kemiskinan, dan inflasi pun disoroti dalam tayangan ini. Mereka
lagi-lagi menuding validitas data kemiskinan
kita tidak akurat. Seorang Kepala Desa
sebagai narasumber, mengatakan BPS tidak melibatkan pemerintah setempat dalam
kegiatan pengumpulan data. Kita dianggap jalan sendiri tanpa melibatkan mereka. Pernyataan ini tentu tidak
merepresantasikan apa yang KSK lakukan ketika mendata. Untuk database
kemiskinan dalam program Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) contohnya,
aparat desalah yang menjadi tokoh utama dalam Forum Komunikasi Publik (FKP)
yang dilakukan. Survei-survei rutin pun, tentu diawali dengan pemberitahuan
kepada Kepala Desa/ Lurah ataukah Satuan Lingkungan Setempat (SLS).
Pada level Anggota DPR RI, pertanyaan-pertanyaan
yang dilontarkan pun berbau sentimen terhadap BPS. Semisal sanksi khusus yang
diberikan pada oknum BPS yang terlibat manipulasi data. Padahal, tidak ada
bukti real yang mengarah kepada Moral
Hazard atau manipulasi data yang dilakukan oleh oknum BPS. Cover
Both Side, sebagai prinsip dan kode etik jurnalistik media seperti
diabaikan dalam tayangan ini. Dimana ruang bagi BPS sangat sedikit dan tidak
proporsional untuk menjawab tudingan-tudingan tersebut.
Wajar jika batin kita geram menyaksiakannya. Mereka
tidak tahu, data BPS itu berasal dari keringat & peluh di lapangan.
Menenteng peralatan ubinan berkilo-kilo jauhnya. Siang malam, hari kerja dan
hari libur seakan sama saja ketika kita mengejar responden & waktu panen. Jatuh bangun mengontrol & memanej mitra.
Daratan, pulau, pegunungan, hingga hutan ditempuh agar mendapatkan data yang
representatif. Belum lagi di tingkat
atas, pasti petinggi BPS siang malam memikirkan perencanaan, instrument,
metodologi, hingga pelaksanaan & kesuksesan tiap sensus/survei di daerah.
Serbuan kritikan ini seperti menghentakkan kita. Ibarat
pohon. Semakin tinggi, maka angin yang datang pun akan semakin kencang. Kita
patut bersyukur, karena hal ini menyentakkan kita akan perhatian luar biasa
yang ditunjukkan pihak luar terhadap BPS.
Sebagai bank data yang diaku oleh Pemerintah, BPS telah terbukti menjadi
rujukan data bagi semua kalangan terkhusus pengambil kebijakan. Kritik yang sifatnya konstruktif, harus kita
pertimbangkan. Sementara tudingan negatif tanpa bukti konkrit, sebaiknya
dijadikan pelecut untuk berkarya lebih baik lagi. Persoalan ada yang tidak
senang dengan output data BPS, itu hal lumrah. Karena BPS tidak bisa memproduksi
angka yang kebenarannya mutlak, tetapi memotret & membaca suatu fenomena. Mari
bergandengan tangan membuktikan bahwa data kita independen dan bebas dari
intervensi manapun.
Saatnya berbenah, kita mainkan peranan kita dengan
penuh tanggungjawab & amanah. Core
Values BPS dikedepankan. Komunikasi
& sosialisasi harus lebih diintensifkan dengan responden & kepala
daerah setempat. Ini penting, agar mereka tahu sistem kerja BPS & ketidakterlibatan
kita dalam eksekusi program-program bantuan Kementerian Teknis. Kritik-kritik
sebaiknya kira rawat dan sikapi dengan bijak. Mengutip pesan berantai Kepala BPS RI. Bersama kita bisa, memperbaiki
rumah kita tercinta.
0 komentar:
Posting Komentar