(Tulisan ini terbit di Harian Fajar , Jumat, 17/02 2017)
“Seperti halnya kompetisi-kompetisi lainnya, pasti ada
menang dan ada yang kalah. Ada suka ada duka, Itulah realitas kehidupan.”
Demikian salah satu kutipan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dalam konferensi
pers beberapa jam pasca pemilihan Gubernur_Wakil Gubernur DKI Jakarta,
Rabu (15/02). Kita menyaksikan sejarah
baru dalam dunia perpolitikan Indonesia. Tayangan yang sangat mencerahkan,
inspiratif, dan bermartabat. Jika biasanya sehabis Pilkada digelar, hasil quick count akan disikapi beragam oleh
para calon Kepala Daerah. Ada yang jumawa,
serasa di atas angin dengan perolehan suaranya. Ada yang getar-getir menunggu
hasil resmi dari KPU, sebagai lembaga resmi negara pelaksana pesta demokrasi.
Ada yang siap dengan bukti-bukti saktinya, memasang kuda-kuda atas
kekalahannya. Money politics, black
campain, dan rupa-rupa alasan untuk mengganjal kemenangan lawan.
Fakta terakhir sangat sering kita saksikan di media cetak
dan elektronik. Calon yang kalah, akan berlomba-lomba mendatangi Badan Pengawas Pemilihan Umum ( Bawaslu) melaporkan dugaan-dugaan kecurangan
yang dihimpun saksi dan tim suksesnya yang berseliweran di TPS-TPS. Yang lebih
ironis, beberapa diantaranya menyuap hakim untuk memuluskan penanganan kasus
sengketa Pilkada yang dialaminya. Demikian besarnya ambisi menjadi penguasa,
sehingga beragam cara dihalalkan demi satu kata, menang.
Maka menjadi tontonan yang sangat menyejukkan, ketika kurang
dari 24 jam Pilkada serentak berlangsung, dimana hasil quick count telah wara-wiri di layar televisi kita. Calon Gubernur
DKI Jakarta, Agus Harimurti Yudoyono (AHY) secara terbuka mengakui
kekalahannya. Mengakui kemenangan lawan-lawannya. Dengan jiwa patriot, putra
sulung mantan Presiden SBY ini memberikan selamat langsung kepada dua pesaingnya yang memiliki suara unggul jauh
darinya.
Tak terbayang rasa
sakit yang berkecamuk di dada AHY. Meninggalkan karir militer yang dibangunnya
belasan tahun. Berpangkat mayor, dan pernah menjadi Komandan Tim
Khusus (Dan Timsus) dan Komandan Kompi (Danki), AHY tentu memiliki karir
militer yang cemerlang dan menjanjikan di masa depan. Namun apa dikata, panggilan politik di tanah air
membelenggunya. Masih terngiang diingatan, matanya
yang berkaca-kaca dan nafas yang sedemikian diaturnya ketika pertamakali tampil
di media, menyatakan kemunduran dirinya sebagai prajurit TNI demi maju sebagai
Calon Gubernur DKI Jakarta. Karir militernya tamat seketika. Tentu bukan hal
yang mudah bagi AHY yang tak punya pengalaman birokrasi, berani maju melenggang
di pentas politik tanah air. Meski menggaet birokrat lama sebagai wakilnya, AHY
tetap berkewajiban besar belajar banyak hal tentang DKI Jakarta, rumah yang akan dipimpinnya, kapal yang akan
dinakhodainya.
Dalam waktu beberapa
bulan saja, AHY harus belajar singkat politik pemerintahan, birokrasi
pemerintahan, dan menyusun strategi menghadapi kompleksitas masalah yang
mewabah di ibu kota. Di awal-awal, elektabilitas pasangan AHY dan wakilnya dalam sejumlah survei memang berada di atas
angin dari pasangan lainnya. Ini bisa jadi, karena kemunculannya sebagai mantan
prajurit dianggap akan membawa angin perubahan bagi warga DKI Jakarta. Namun mendekat hari pemilihan, setelah melewati tiga kali debat publik dan hari-hari kampanye, keadaannya
terbalik. Posisinya tertinggal jauh dari lawan-lawannya. Hingga hari
pencoblosan, dan hasil perhitungan cepat keluar, AHY berada di posisi buncit.
Harus mundur di putaran pertama Pilkada ini. Tamparan keras tentunya, bagi
seorang pemula yang telah mempertaruhkan banyak hal.
Sebagai penonton dan orang yang awam politik, saya melihat
AHY cukup fasih dalam beberapa kali performance
nya di ruang publik. Suaranya lantang, matanya
mengusasi audience, tutur katanya terstruktur,
tegas, dan bersahabat, diselingi senyum khasnya. Meski harus diakui,
program-program yang dikampanyekannya tawar,ngambang, dan terlalu teoritis.
Namun sebagai pemula, performance
yang ditampilkan AHY sungguh luar biasa.
Menjadi
hal yang sangat menyejukkan, ketika pada hari yang sama, AHY melangsungkan
konferensi pers. Secara ksatria dan berlapang dada mengakui kekalahannya,
dengan tulus menyampaikan ucapan selamat kepada lawannya, dan dengan kerendahan hati menyampaikan
permohonan maaf dan terimakasih kepada orang-orang yang telah mendukungnya
habis-habisan. Padahal, keputusan resmi
KPU belum keluar. AHY tidak mencari apologi, dan tanpa ngeles baja mencari-cari kambing hitam atas kekalahannya. Padahal,
seperti kita ketahui. Malam sebelum pemilihan, malam di mana sebagian pemilih
masih berada di batas kebimbangan menjatuhkan pilihan. Mantan Ketua Komisi Pemberantas
Korupsi, Antasari Azhar melakukan manuver politik, melempar serangan mematikan
kepada Ayahandanya, yang tak lain Ketua Umum Partai Demokrat, salah satu partai
pendukungnya. Manuver gagal diantisipasi oleh tim pemenangan AHY.
Masyarakat
Indonesia, terkhusus warga DKI Jakarta seperti di buat shock oleh pernyataan Antasari. Meskipun pernyataan itu benar atau
tidak, namun media berhasil mengembangkan dan menjadikannya isu panas secepat
kilat. Skenario pembebasan Antashari dan
manuver serangannya yang pas waktunya itu, bisa menjadi alasan kuat AHY telah dicurangi
atau menjadi korban black campaign.
Namun hal ini sama sekali tak dipermasalahkannya. Sepertinya
ini menjadi starting point yang baik
bagi AHY untuk bertahan di panggung politik. Simpati telah diraih. Punya modal
politik yang besar. Partai yang jelas. Sisa mengasah diri di usia yang masih
relatif muda.
AHY menunjukkan
kelasnya sebagai petarung yang bermartabat. Tidak butuh waktu lama, AHY
merangkul semua pendukungnya dari keterpurukan. Memercikkan api semangat. Dengan
penuh kerendahan hati, mengakui pada dunia akan kekalahannya. Hal yang sangat langka dijumpai di tiap pesta
demokrasi. AHY telah memberi kita pelajaran politik yang berharga. Bahwa dalam
kompetisi apapun, kita harus siap menang, dan siap kalah.
0 komentar:
Posting Komentar