(Tulisan ini memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia ke-72)
Awal
agustus kita dihebohkan dengan berita pilu. Berita Muhammad Al Zahra alias Joya
(25), yang tewas mengenaskan di Babelan, Kabupaten Bekasi. Joya dikeroyok dan dibakar
hidup-hidup oleh sekelompok orang setelah dituduh mencuri amplifier sebuah
mushalah. Indonesia yang merupakan negara hukum, Indonesia yang bulan ini
merayakan hari kemerdekaannya yang ke-72, dan selama itu pula menyatakan diri
sebagai bangsa yang berdaulat, seorang anak bangsanya meregang nyawa di tangan para
hakim jalanan. Disaksikan ratusan pasang mata yang mematung.
Akhir-akhir ini Bangsa Indonesia seperti
dihadapkan pada krisis moral. Terlalu jauh membahas masalah krisis garam,
belenggu utang, calon presiden mendatang beserta peta kekuatannya. Justru hal
mendasar, yakni toleransi dan empati
atas dasar kemanusiaan semakin waktu
makin memudar. Melihat viral video seorang bapak muda beranak satu, yang diduga
pelaku pencurian amplifer, tanpa memperhatikan asas praduga tidak bersalah, dihajar
habis-habis di sekujur tubuhnya oleh sekelompok orang. Melihatnya, hati terasa
perih tersayat-sayat. Jika mungkin ada di Tempat Kejadian Perkara (TKP), ingin
sekali menolong satu nyawa yang menjadi tumpuan hidup keluarga kecilnya itu.
Tak cukup dengan melihat korban tergolek tak berdaya, sekelompok orang tersebut
kemudian saling terprovokasi untuk menyirami korban yang telah berdarah-darah
dengan bensin, memercikkan api, hingga sekujur tubuh yang kesakitan itu terpanggang tanpa ampun.
Menengok binatang liar yang terjebak kobaran api pun, sepertinya
hati tak tega untuk melihatnya. Apalagi
hal ini terjadi pada seorang manusia. Menjadi sangat ironis, ketika berikutnya
korban yang dililit api ini dibiarkan begitu saja di balik parit. Orang-orang
mengelilinginya, menonton bak sedang melihat adegan sirkus atau tarian topeng
monyet. Beberapa nampak sibuk merekam aksi biadab ini dengan smart phone. Penulis tak habis pikir,
apa gerangan yang melintas di kepala orang-orang ini. Menyaksikan orang disiksa
dengan demikian kejinya, tanpa ada intruksi untuk menolong atau mencoba
memadamkan kobaran api yang telah tersulut. Di mana tokoh masyarakat itu? Di
mana para panutan yang bisa dijadikan tauladan di suatu kelompok masyarakat? Di
mana para pemuda yang merupakan generasi
pewaris zaman, calon pemimpin masa depan? Tidakkah ada dari mereka yang
bisa berpikir jernih, gagah berani tampil di kerumunan massa, menenangkan
situasi yang telah dirajai oleh amarah tak berdasar. Bertindak persuasif
mengehentikan aksi main hakim sendiri ini. Di mana kemanusiaan yang adil dan
beradab itu?Di mana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu?
Istri korban, Siti Zubaedah dengan suara lirih diwawancarai, berujar agar
dirinya berusaha ikhlas atas kejadian pahit yang dialami suaminya. Jika memang
terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindakan mencuri amplifer, hukuman
dibakar itu tak selayaknya diberikan. Apalagi dugaan pencurian ini masih tahap
penyelidikan. Kondisinya yang tengah hamil enam bulan, makin tertekan melihat
jasad suaminya yang diangkat kembali dari kuburnya, untuk keperluan autopsi
guna kelancaran penyidikan. Subaedah meminta para pelaku yang telah di tangan polisi itu,
dihukum setimpal atas perbuatannya.
Perilaku main hakim sendiri hendaknya menjadi
perhatian serius pemerintah. Peraturan perundang-undangan kita saat ini, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang belum mengatur secara
khusus mengenai tindak main hakim sendiri. Biasanya, para pelaku dialihkan
kepada Pasal 351 KUHP Tentang Penganiayaan, Pasal 170 KUHP Tentang Kekerasan,
atau Pasal 406 KUHP Tentang Perusakan. Untuk
kasus Zoya, rasa-rasanya ketiga pasal ini belum mampu memberi keadilan bagi
korban dan keluarganya.
Indonesia Negara Hukum,
Berabad-abad
lamanya negara kita diduduki, dikuasai,
dijajah bangsa asing. Mulai dari Portugis, Spanyol, Inggris ,VOC, Belanda
hingga Jepang. Para pejuang dan pahlawan bangsa berdarah-darah mempertaruhkan
segala jiwa dan raganya agar nusantara terbebas dari penjajahan. Merdeka! Kita
bisa bekerja, sekolah, beribadah, bergotong-royong, berbuat segala sesuatu
dengan tenang. Kemerdekaan adalah modal besar pembangunan nasional. Hukum adalah
perisai dalam mengisi segala dimensi kemerdekaan. Indonesia sebagai negara hukum,
harus menjunjung keadilan sebagai tujuan dari hukum itu sendiri. Jika praktik main
hakim sendiri terus bergentayangan, dengan cara-cara keji tak
berperikemanusiaan, masihkah kita layak menyatakan diri merdeka?
0 komentar:
Posting Komentar