(Shaela Mayasari, Penulis adalah Koordinator
Statistik Kecamatan Mandai, BPS Kab. Maros)
Masyarakat
Indonesia dewasa ini, khususnya generasi millenial tengah menikmati euforia kemajuan IT (Information Technology).
Larut dalam hiruk-pikuk sosial media. Namun, abai akan IS (Information
Science). Salah satu ujung tombak IS ialah data statistik. Memperolehnya,
melalui proses ilmiah mulai pengumpulan, pengolahan, hingga penyajian. BPS sebagai lembaga resmi penyedia data
statistik pemerintah, punya andil besar dalam menyajikan fakta melalui data
yang dihasilkan. Jangan sampai, kita buta ilmu dalam megahnya sebuah
perpustakaan.
Hasil listing Sensus Ekonomi 2016 (SE16)
menunjukkan ada 26,71 juta usaha/perusahaan non pertanian yang dikelompokkan
dalam 15 kategori lapangan usaha sesuai dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia (KBLI) 2015. Jumlah itu meningkat 17,51 % dibandingkan dengan hasil
Sensus Ekonomi 2006 (SE06) 10 tahun lalu. Dan Usaha Mikro Kecil (UMK)
mendominasi usaha di negeri ini sebanyak 98,33 %.
Hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013 diperoleh
jumlah rumah tangga usaha pertanian subsektor tanaman pangan di Indonesia
sebesar 17.728.185 rumah tangga. Dibandingkan tahun 2003, jumlah tersebut
mengalami penurunan sebanyak 979.867 rumah tangga. Sementara Jumlah
penduduk Indonesia hasil Sensus Penduduk 2010 sebanyak 237.641.326 jiwa, di
daerah perkotaan sebanyak 118.320.256 jiwa (49,79 %) dan di daerah perdesaan
sebanyak 119.321.070 jiwa (50,21 %). Penduduk laki-laki Indonesia sebanyak
119. 630.913 jiwa dan perempuan sebanyak 118.010.413 jiwa. Seks Rasio adalah
101, berarti terdapat 101 laki-laki untuk setiap 100 perempuan.
Sederet data di atas adalah produkBPS dalam menjalankan tiga kegiatan akbarnya satu dekade
terakhir. Data di atas dilahirkan dari proses panjang. Mulai perencanaan, pengumpulan
data, batching, editing coding,
pengolahan, validasi, hingga desiminasi. Selain itu, ada berita resmi statistik
lainnya yang dirilis tiap awal bulannya. Mulai data Nilai Tukar Petani, Transportasi,
Wisatawan Mancanegara, Tingkat Hunian Hotel, Inflasi, Perdagangan Ekspor Impor dan publikasi dan tahunan lainnya.
Produk ini tentu di butuhkan para konsumen data.
Pemerintah harus memiliki rujukan data penduduk dan data
BPS lainnya guna menyusun kebijakan-kebijakan strategis. Akademisi membutuhkan
data statistik pertanian guna menunjang riset
penelitiannya. Pun kepentingan sektor swasta, mulai investor hingga pelaku
usaha
lainnya membutuhkan
data gambaran hasil Sensus
Ekonomi untuk memetakan horison pandang pemasarannya, dan mengetahui segmen
pasarnya. Merencanakan, membangun, mengevaluasi sebuah kinerja, atau melahirkan rule tentu membutuhkan ukuran. Ialah
data. Jangan sampai kemajuan IT mengerus kesensitifitasan kita untuk malas memaknai statistik
secara komprehensif. Yang ada, kita ditarik masuk dalam lingkaran hoax yang
tidak bertepi. Jamak orang menginterpretasi data BPS dari kulitnya
saja, tanpa memahami unsur mata rantai pengetahuan yang obyektif di dalamnya.
Tengok saja, beberapa bulan
lalu ramai berita hoax tentang data
kemiskinan yang dirilis BPS. Ada juga gubernur yang mencak-mencak akan
inkonsistensi antar tabel data jumlah penduduk dalam Publikasi Daerah Dalam
Angka. Juga data surplus produksi beras yang diklaim mengada-ada. Padahal data
tersebut lahir dari proses ilmiah, metodologi yang kuat, SDM yang berkompeten,
dan core values yang telah tertanam. Jika
kita memaknai statistik secara menyeluruh, semua berita tersebut dapat
dipertanggungjawabkan asal muasalnya. Rasional, obyektif, independen, dan fair.
Kebenaran sejati tidak ada di bumi ini. Statistik adalah
knowledge untuk memotret fenomena
yang ada dalam suatu wilayah. Memotret kejadian dan aktifitas beragam sektor
pembangunan. Memotret suatu karakteristik populasi. Lalu kemudian
mengabarkannya kepada khalayak.
Memahami data
statistik harus dengan pikiran jernih dan hati yang bening. Tidak
terkontaminasi intrik apapun. Sebelum mengambil keputusan untuk percaya atau
tidak dengan data statistik. Sebaiknya pahami konsep yang dianut. Bisa saja
terjadi mis-interpretasi. Misal jumlah penduduk BPS
dengan instansi lain. Dari segi konsep , konsep penduduk antara BPS dengan instansi
teknis lain berbeda, sudah pasti data yang dihasilkan pun berbeda. Pun dengan beberapa
konsep lainnya.
Kunci keberhasilan keakuratan data juga
terletak dari pihak responden. Tantangan
lain yang kerap ada ialah keengganan reponden memberikan data yang dibutuhkan
secara transparan dan benar adanya. Banyak faktor dibaliknya. Ketakutan akan
beban pajak, takut datanya disalahgunakan, takut tidak memperoleh bantuan dari
pemerintah. Yang terakhir adalah alasan paling krusial. Mind
set sebagian besar masyarakat sudah menganggap jika setiap pendataan BPS
akan berujung eksekusi nama-nama penerima bantuan pemerintah. Padahal, BPS
tidak punya kepentingan akan itu. UU No. 16 Tahun 1997 sebagai payung hukum BPS
juga menjamin kerahasiaan data responden. Data primer yang diperoleh dari rumah tangga
dan perusahaan, tentu diharap akan melahirkan kebijakan yang tepat sasaran.
Namun jika sedari awal data yang diberikan responden telah bias dan tidak
jujur, maka tentu kebijakan yang dihasilkan pun berdampak sama. Mari Bekerja Bersama Dengan Data.
0 komentar:
Posting Komentar