Anda sebagai seorang muslim, apakah anda tidak punya tanggungjawab terhadap agama Anda sendiri? Yang kemudian Anda bersyahadat dengan agama Anda sendiri itu. Kemudian Anda biarkan saja agama Anda diperolok-olok orang lain? Kemudian dijadikan bahan cercaan orang-orang lain. Kenapa orang yang membela agamanya dikatakan intoleransi?Bagaimana mungkin ada orang muslim yang anti dengan syahadatnya sendiri?
Sepenggal kalimat di atas ialah lisan dari Ustadz Felix Siauw kala menjadi salah satu pembicara di salah satu televisi nasional kemarin dulu (12/12). Lancar, tenang, namun menohok. Pada kesempatan baik itu, tema yang dibicarakan ialah esensi Reuni 212. Perlu atau tidak. Duduk bersama para tokoh-tokoh terkenal, dari kalangan anggota DPR, Penggiat Medsos, Pengamat Politik, Ahli hukum, Budayawan, dll.
Ada yang mengaduk-ngaduk emosi tatkala beberapa pembicara nyinyir, skeptis, malah terkesan hate speech dengan aksi bela Islam 212 yang diklaim ditunggangi nuansa politis. Dan hanya berdasarkan uang dan materi semata. Ustdz Felix Siauw hadir bak siraman hujan di tengah gersangnya ilmu beberapa pembicara.
Jujur saja, saya menonton video tayangan ini berkali-kali. Dada beregemuruh. Bulu kuduk merinding. Air mata tumpah. Decak kagum luar biasa melihat seorang saudara muslim kita berjuang dengan begitu maksimalnya membela agama kita. Entah doa apa yang dipanjatkan beliau kepada Allah, sehingga begitu mudahnya semua lisan-lisan kebaikan itu keluar. Kecerdasannya terukur tatkala mematahkan hate speech seorang Abu Janda yang mengklaim diri juga sebagai ustadz. Lebih 15 kali ustadz Felix Mengunjungi Museum Topkapi di Turki, yang merupakan museum berisi barang-barang kenangan peninggalan Rasulullah SAW, dan belum pernah sekalipun melihat bendera rasulullah yang dipajang di sana. Seperti apa yang dinyatakan dengan lantang oleh Abu Janda.
Penuh santun, Ia menjelaskan pula secara gamblang, terstruktur,sepenuh hati, maksud dan tujuan reuni 212 sebagai aksi bela Islam, bela Ulama, dan bela NKRI. Jauh dari semua fitnah, tuduhan terhadap intrik hitam dan penuh kepentingan. Bahwa orang-orang hadir di sana digerakkan oleh iman, dibisiki oleh naluri tauhid, dan berlandaskan kecintaan yang begitu besar akan Islam dan persaudaraan sesama muslim.
Ustadz Felix Siauw tidak harus adu argumen dengan pembicara lain. Sekali kesempatan dengan waktu yang terbatas itu dimaksimalkan sangat baik. Tidak dengan mengeraskan suara, melototkan mata, meninggikan intonasi, dan mengeluarkan gestrur bengis. Justru dengan gaya santai, tenang, diperkuat data dan hadist, serta kalimat-kalimat yang mengalir tenang penuh damai, Ia mampu mematahkan argumen skeptis para lawannya yang tak mendasar .
Sorot matanya, ajakan dakwahnya yang dalam durasi terbatas mengingatkan kita kembali untuk selalu husnudzon dengan agama kita. Berpegangan tangan dalam temali keimanan yang tentu bukanlah sajian akting belaka. Islam adalah agama spesial. Meski pernyataannya menyoal khilafah ditanggapi kontra oleh seorang Mhfud MD. Tak ada interupsi, penuh takzim Ia membiarkan saja seorang Mahfud menyatakan statemennya yang tentu berseberangan pula dengan apa yang diyakini. Toh, sebelumnya pun Ia menyatakan diri sebagai pembelajar.
Tayangan kemarin itu membuka mata kita, khususnya saya pribadi mengambil banyak hikmah. Bedanya orang berilmu dengan dangkal ilmu. Bahwa langit tak perlu menjelaskan banyak bahwa Ia tinggi. Bahwa tong yang kosong pasti akan selalu nyaring bunyinya. Bagaimana sikap arogan dan tinggi hati justru akan menyeretmu menelanjangi diri sendiri. Bukan orang lain yang melakukannya, melainkan diri sendiri yang pada waktunya menampakkan diri sebagai keledai dungu dan tolol.Bahwa sebagai pembelajar harus bermental baja. Bahwa hakikat seorang berilmu, tentu mengambil pelajaran dari setiap penolakan atau kegagalan yang dialaminya. Bukan justru balik menyalahkan orang lain. Bahwa dakwah bukan hal yang mudah, meski kita kuat secara mayoritas. Namun, semangat tak boleh kendur menyebarkan syiar Allah dan Rasul
Saya benar-benar malu. Bagaimana mungkin seorang mualaf yang baru memeluk Islam 15 tahun terakhir begitu menguasai Islam, jauh dibanding kita yang memiliki darah Islam sejak dalam kandungan. Mualaf yang menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai non muslim, mualaf yang banyak bergaul dengan banyak ulama dan santri, dan telah menjelajah tempat-tempat bersejarah kaum muslim, dan terus mengatakan diri sebagai pembelajar Islam. Ya Allah. Semoga kesehatan senantiasa tercurah padamu Ustadz, diberi umur panjang, terus menjadi pejuang Islam hingga akhir zaman, dan mengingatkan kita untuk terus menjiwai dalam hati dan raga, Lailahaillallah Muhammadarrasulullah hingga ajal menjemput.
0 komentar:
Posting Komentar