RSS

Senin, 18 Desember 2017

Si Bontot yang Tak Lagi Kecil

Ketika memperkenalkan kekasihnya ini setahun lalu kepada kami, saya sempat bergurau padanya. "Mau menetap di Papua yah selamanya?"Nekat bener mau memperistri orang sana. Mau tidak mau, tentu Ia (read: istri) tak ingin jauh-jauh dari keluarganya. Dijawabnya  penuh makna, "saya tahu diri kok kaka."

Berpuluh tahun sebagai saudara sedarah, saya paham betul karakternya. Dia bungsu, namun dewasa akan pilihan-pilihan yang terbaik dalam hidupnya.  Sangat jarang menyusahkan orang. Terlihat cuek, namun sebenarnya jiwanya visioner.

Saya ingat ketika pasca yudisium wisuda tahun 2010, Ia mengabarkan jika tengah bekerja di salah satu mini market di kawasan industri. Sebagai teknisi listrik. Bidang yang memang digelutinya di bangku kuliah. Saya sempat tanya. Apa tidak kecapean dengan jam kerja malam. Jarak yang lumayan jauh tentu menguras bukan hanya energi, namun juga bahan bakar motor. Fee sebagai karyawan baru juga seberapa. "Semua kan bermula dari hal kecil, "jawabnya.


Beberapa bulan bekerja di sana, Ia lalu mendaftar di salah satu BuMN elit. Tanpa memberitahuan kepada kami keluarganya. Setelah menjalani beberapa tes, barulah Ia mengabarkan perihal keikutsertaannya, dan memohon doa agar diberi kemudahan. Hingga akhirnya Ia benar-benar lulus.Meski penempatan di Timika sempat membikin keluarga gundah gulana. Kesan sebagai daerah konflik terpatri kuat pada daerah ini. Namun ia terus meyakinkan bahwa Timika sama saja dengan daerah-daerah lain di nusantara ini.  Tergantung cara kita membawa diri.

Kemarin, Ia resmi mengikat gadis berdarah Bugis Manado menjadi istrinya di Timika, Papua. Awalnya, saya mengira bahwa pernikahan akan berlangsung biasa-biasa saja. Dari pihak keluarga, kami hanya berenam yang datang dari kampung. Namun, rezkynya datang tak disangka-sangka. Entah bagaimana jalannya, kami bertemu satu keluarga di sini, lalu kemudian memanggil keluarga lain yang berdomisili di sini dari mulut ke mulut. Hingga terkumpullah orang-orang serumpun kami dari Tanah Manserempulu. Orang merantau paham betul hakikat persaudaraan di  tanah rantau. Ia membantu kami tanpa diminta, sibuk urus ono ini ono itu tanpa diinstruksikan, mereka kepanjangan Tuhan mengurus keperluan adik kami menjelang pernikahan.

Seolah tahu bahwa kami tak bisa berbuat banyak di sini. Adik menikah dengan penuh kemudahan, ditopang ketulusan, dan bantuan tanpa pamrih dari sanak keluarga dan handai tauladan yang baru pertamakalinya dijumpai di sini.

Salah sorang rekan kerja yang selama di sini sudi setia mengantar kami ke mana-mana, menegaskan bahwa adik di sini ialah termasuk jejeran bos muda, disegani ketika dalam rapat, namun penuh kehangatan dan kebersahajaan ketika di luar kedinasan. Fakta ini menambah kebahagiaan kami. Si bontot tak lagi kecil, merantau membuatnya makin matang dan dewasa.

Rasa-rasanya baru kemarin, menjadi teman bermain semasa kecil. Teman satu-satunya bersenda gurau di dalam rumah ketikaa Bapak ke kantor dan mamak  di dapur. Rasa-rasanya baru kemarin, nyawa kami berdua hampir tak tertolong. Tidur berdua di kamar semasa kecil, bantal yang kami kenakan jatuh menyentuh  obat nyamuk bakar saat kami tidur dengan lelapnya. Asap yang memenuhi kamar membuat kami terbangun merasakan sesak yang dahsyat. Ia berlari teriak ke kamar Bapak Mamak untuk meminta pertolongan segera.

Rasa-rasanya baru kemarin, suka memarah-marahinya karena pulang telat ketika zaman kuliah. Ia menjelaskan bahwa himpunan kampus menjadi rumah keduanya di kampus. Dan Ia yakinkan tidak ada hal negatif yang diperolehnya kumpul hingga nginap bersama sahabatnya di himpunan kampus. Dari dulu Ia memang selalu komit dengan pilihannya. Bertanggungjawab dengan apapun fase di hidupnya.

Rasa-rasanya baru kemarin, kita selalu makan nasi tempe bersama. Ketika uang kiriman Bapak telat, Ia tidak pusing. Terlebih merengek-rengek meminta segera dikirimkan subsidi. Ia cukup membeli tempe atau tahu isi. Mengambil nasi yang kita juluki nasi galunggung, karena tingginya yang gak ketulungan. Hahaha. Lantas, persoalan lapar pun usai.

Ia sangat simple. Tak mau membuat sesuatu kelihatan sulit. Berpikir tenang dan solutif. Saya banyak belajar darinya. Meski umur kami hanya terpaut dua tahun.

Kini, beban telah plong. Risau akan hidupnya, akan makannya, kesehatannya tak lagi beban di pikiran. Teman hidup telah hadir menemani hari-harinya. Melengkapi kekurangannya. Dan menjadi temannya berumahtangga.

Adikku, selamat berbahagia dengan bidadari pilihanmu. 
Barakallahu laka wa baraka alaika wa jama'a bainakuma fii khoir😘🙏😇

0 komentar:

Posting Komentar