Terakhir kali saya menikmati hak cuti dalam tempo lama tatkala hamil besar hingga pasca melahirkan, 2 tahun lalu. Sekitar tiga bulan lamanya, saya terbebas dari rutinitas kantor dan tetek-bengek survei. Rasanya? Seperti hanya sekelabat hari saja. Proses melahirkan dan menyusui memiliki keindahan tersendiri. Tak akan cukup ruang waktu seluas apapun, jika berhadapan dengan makhluk mungil pemberian Allah.
Predikat newmom sebagai orang paling dibutuhkan membuat kita tak ingin jauh dari bayi, meski hanya cuma sedetik, meski hanya cuma mimpi di siang bolong, apalagi di tidur malam. Melihatnya tertidur, mendengkur tipis, tertawa, berkasih sayang dengan abinya, bermain hingga membuat kami bedagang, adalah pemandangan menyejukkan tiada taranya. Persoalan cuti dengan kehadiran anggota keluarga baru adalah kebahagiaan hakiki. Namun, tiga bulan adalah seideal-idealnya waktu untuk mengistirahatkan pekerja seperti saya. Setelahnya, kewajiban panjang menuntut untuk segera ditunaikan. Sisa kita yang harus tahu diri, beradaptasi kembali dengan ritme kantor.
Itu dua tahun lalu, seminggu terakhir saya kembali menikmati cuti tahunan. Lima hari saya terbebas dari belenggu kantor. Ditambah sabtu dan minggu. Jadi total tujuh hari. Saya kembali menikmati kebahagiaan hakiki, menyambut ( bersama) anggota keluarga baru. Adik kandung saya yang menikah bulan lalu di Tanah Papua, memboyong istrinya untuk diperkenalkan dengan keluarga besar di Parepare.Anggota keluarga baru bagi saya yang cuma bersaudara kandungkan seorang laki-laki saja, adalah emas. Terlebih jarak akan menjadi penghalang kita. Jadi mengambil cuti tahunan, saya pikir adalah opsi terbaik untuk merekat temali hati diantara kami sekeluarga. Bagaimanapun, merekalah muara cinta sesungguhnya.
Seminggu bersama, rasanya dililit-lilit rasa syukur. Melihat bapak mamak sehat, berbahagia, Si Kecil menjadi objek perhatian, kebisaan lucunya menyanyi dan meniru suara binatang menjadi bulan-bulanan perhatian seluruh keluarga. Adik dan adik ipar berlomba merangkulnya, memberi perhatian penuh laiknya anak kandungnya sendiri. Seperti magnet kebahagiaan tertarik mengelilingi kita. Kemarin, hari pamungkas cuti, saya menikmati Film Dilan yang lagi hits bersama mereka.
Kita menikmati akhir pekan dengan menonton film kekinian Dilan. Adik ipar sangat ingin menontonnya. Yang membuat lucu dan konyol, turut pula menonton film berlatar cerita kisah percintaan SMU ini ialah Si Kecil, juga Bapak yang saat ini tengah berhijrah dengan baju jubah dan pecinya. Jadilah adegan romantis dan kalimat-kalimat gombal Dilan menjadi kalimat lelucon di tengah-tengah kebersamaan kami.
Saya tentu lebih menikmati membaca berlembar-lembar romansa di novelnya dibanding duduk menikmati wajah ganteng Iqbal, yang rasa-rasanya baru kemarin melihatnya sebagai bocah unyu-unyu saat bergabung di CJR . Sekalipun tentu bukan perkara mudah, menuangkan satu buku dalam film berdurasi 2 jam hingga dapat dinikmati peminat film.
Saya suka adegan, cara Dilan menjenguk Milea yang sedang sedih dan kurang sehat. Jika lazimnya, orang berkasih membawa sepukat bunga, coklat, atau makanan kesukaan kekasihnya saat sakit, Dilan justru membawa tukang urut yang bagi sebagian orang dianggap mendatangkan sembuhan. Juga adeganMilea yang nekat menerobos hujan batu dan wajah bringas preman bersenjata tajam, untuk mencari posisi Dilan. Memastikan Dilan baik-baik saja dan tidak terlibat konflik tawuran. Terlepas adegan lebay dan adegan lain yang bagi saya mendobrak adat ketimuran kita, yang menjunjung tinggi rasa hormat kepada orang yang lebih tua.
Dilan dan Milea memberi pesan untuk mencintai sepenuh hati dengan uluran tangan. Konkrit. Selalu ada dalam keadaan segenting apapaun orang terkasihmu. Karena cinta tidak cukup hanya bermodal gombal dan kata puitis semata.
Cuti panjang telah selesai. Kebersamaan manis telah dirajut bersama keluarga dan anggota baru. Saatnya nyacah ke mana-mana. Sudah. Jangan kamu Dilan. Nyacah itu berat. Biar aku saja, kamu tidak akan sanggup. Wkwkkw
0 komentar:
Posting Komentar