(Tulisan ini diterbitkan dalam Harian Fajar, 22 Desember 2015, dalam rangka memperingati Hari Ibu)
“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh,
lewati rintang untung aku anakmu. Ibuku sayang masih terus berjalan, walau tapak
kaki penuh darah penuh nanah…”
Sepenggal lirik indah nan haru Iwan Fals di
lagunya berjudul ‘Ibu’ ini, sungguh menyentuh nurani. Menceritakan
betapa kerasnya jalan seorang Ibu bertahan hidup, demi menyanggupi kebutuhan hidup anaknya.
Rintangan seberat apapun akan dilalui demi sang anak, sekalipun nyawa dengan
ikhlas akan jadi taruhannya. Bercerita tentang Ibu, tentu tak sebatas hanya
persoalan melindungi, menyayangi, dan merawat anak saja. Hal serupa pun bisa diperankan
oleh seorang Ayah. Meskipun sudah bonus
dari kodratnya, seorang Ibu melahirkan dan menyusui. Tapi lebih dari itu, Ibu
adalah mata air kesejukan keluarga. Jika
seluruh keluarga di negeri ini bisa menikmati mata air kesejukan itu kapan
saja, tak berlebihan rasanya sebuah kalimat bijak
yang mengungkapkan bahwa Ibu adalah tiang negara.
Tiang itu
tegak berdiri karena persatuan manuasia-manusia yang semakin hari semakin
banyak jumlahnya di muka bumi ini . Kelompok manusia –manusia itu terlahir dari rahim kaum ibu. Melaluinya, manusia
terus beregenerasi melalui proses kelahiran sehingga peradaban umat manusia
dapat terus berkembang. Jika anak-anak manusia tidak dapat dibumikan dengan
baik, maka keberadaan dunia, langit, dan yang ada pada keduanya itu akan menjadi
sia-sia. Oleh karenanya, tegak dan
berdirinya sebuah negara tidak lepas dari keberadaan kaum Ibu di dalamnya.
Bahkan, kaum lelaki sekalipun tidak mungkin bisa menempati bumi sendirian tanpa
perempuan sebagai istri dan Ibu anak-anaknya. Tuhan memang menciptakan
segalanya bukan tanpa sebab. Seorang presiden
terlahir dari rahim seorang ibu, seorang perdana menteri juga lahir dari rahim
seorang ibu, dan sederetan tokoh-tokoh penting dunia yang melegenda semuanya
lahir dari rahim ibu mereka masing-masing.