RSS

Selasa, 23 Desember 2014

Hari Ibu dan Kegelisahan Bangsa


(Tulisan ini diterbitkan dalam Harian Fajar, 22 Desember 2015, dalam rangka memperingati Hari Ibu)

            “Ribuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintang untung aku anakmu. Ibuku sayang masih terus berjalan, walau tapak kaki penuh darah penuh nanah…”
Sepenggal lirik indah nan haru Iwan Fals di lagunya berjudul ‘Ibu’ ini, sungguh menyentuh nurani. Menceritakan betapa kerasnya jalan seorang Ibu bertahan hidup, demi  menyanggupi kebutuhan hidup anaknya. Rintangan seberat apapun akan dilalui demi sang anak, sekalipun nyawa dengan ikhlas akan jadi taruhannya. Bercerita tentang Ibu, tentu tak sebatas hanya persoalan melindungi, menyayangi, dan  merawat anak saja. Hal serupa pun bisa diperankan oleh seorang Ayah. Meskipun  sudah bonus dari kodratnya, seorang Ibu melahirkan dan menyusui. Tapi lebih dari itu, Ibu adalah mata air kesejukan keluarga.  Jika seluruh keluarga di negeri ini bisa menikmati mata air kesejukan itu kapan saja, tak berlebihan rasanya sebuah  kalimat bijak  yang mengungkapkan bahwa Ibu adalah  tiang  negara.
Tiang itu tegak berdiri karena persatuan manuasia-manusia yang semakin hari semakin banyak jumlahnya di muka bumi ini . Kelompok manusia –manusia itu  terlahir dari rahim kaum ibu. Melaluinya, manusia terus beregenerasi melalui proses kelahiran sehingga peradaban umat manusia dapat terus berkembang. Jika anak-anak manusia tidak dapat dibumikan dengan baik, maka keberadaan dunia, langit, dan yang ada pada keduanya itu akan menjadi sia-sia.  Oleh karenanya, tegak dan berdirinya sebuah negara tidak lepas dari keberadaan kaum Ibu di dalamnya. Bahkan, kaum lelaki sekalipun tidak mungkin bisa menempati bumi sendirian tanpa perempuan sebagai istri dan Ibu anak-anaknya. Tuhan memang menciptakan segalanya bukan tanpa sebab.  Seorang presiden terlahir dari rahim seorang ibu, seorang perdana menteri juga lahir dari rahim seorang ibu, dan sederetan tokoh-tokoh penting dunia yang melegenda semuanya lahir dari rahim ibu mereka masing-masing.

Minggu, 11 Mei 2014

Masakan Sederhana, Penawar Jenuh !



Titik jenuh. Setiap orang tentunya berpotensi untuk sampai di titik ini, dalam tiap potongan hidupnya. Jenuh bisa jadi lahir dari rutinitas berulang  yang monoton. Meski itu adalah kewajiban, tapi adalah menyenangkan jika  rutinitas itu  disisipi dengan aktifitas lain yang meringankan beban kerja otak dan fisik. Menyalurkan hobby, refreshing, ataukah berkumpul dengan keluarga tercinta misalnya. Namun ada momen-momen tertentu dimana tekanan akan  rutinitas itu makin menggila dan tak mengenal kompromi. Saya misalnya, sebulan ini serasa dikejar oleh pekerjaan ad hoc yang tak henti.
 Seharian dihabiskan untuk mengumpulkan data di lapangan, malamnya kemudian dilanjutkan dengan pengeditan, hingga pengolahan data di depan layar komputer. Hingga hari libur pun terpakai untuk pelatihan dan evaluasi kerja. Bersama teman-teman, kami kerap mengeluhkan hal yang sama. Kepala yang migrain, pinggang yang serasa nyeri, persendian yang melemas, lingkaran mata yang makin menegaskan gurat kelelahan. Dan lain-lain.

Jumat, 07 Februari 2014

Kado Pernikahan Untuk Sahabatku


                 Berbalut seragam putih abu-abu, kisah persahabatan itu kita rajut. Satu dekade lebih telah berlalu kawan, dan saya ingat betul kala pertamakali kita berkenalan. Kamu pindahan dari sekolah dan kota berbeda waktu itu. Dari kursi paling belakang, kamu melangkah riang ke mejaku,  hendak meminjam majalah remaja. Disitulah awal perkenalan kita. Dua belas tahun yang lalu. Dengan kotak sejuta mimpi, engkau datang  menawarkan tinta persahabatan
            Tiga tahun kita melewati hari-hari bersama di bangku sekolah. Berbicara panjang tentang musik, Novel Kahlil Gibran, dan band favorit kita (Sheila on7) menjadi santapan hari-hari. Kita memiliki kesamaan untuk tiga hal ini. Pembicaraan kadang melebar ke guru Kimia dan Biologi yang terkenal ‘killer’, atau pelajaran yang melihat rumus-rumusnya seperti membuat kepala sontak migrain, atau gosip cowok & cewek beken di sekolah. Jiwa kita selaras dalam banyak hal.  Kita sering menghabiskan waktu berjalan di sepanjang Pantai Senggol. Ketika jam les sore selesai, sembari melihat-lihat boneka-boneka bekas dari negeri seberang yang dijual bebas sekitar pantai.Hehe. Kamu sering berujar, kelak masa ini akan kita rindukan.