RSS

Minggu, 11 Mei 2014

Masakan Sederhana, Penawar Jenuh !



Titik jenuh. Setiap orang tentunya berpotensi untuk sampai di titik ini, dalam tiap potongan hidupnya. Jenuh bisa jadi lahir dari rutinitas berulang  yang monoton. Meski itu adalah kewajiban, tapi adalah menyenangkan jika  rutinitas itu  disisipi dengan aktifitas lain yang meringankan beban kerja otak dan fisik. Menyalurkan hobby, refreshing, ataukah berkumpul dengan keluarga tercinta misalnya. Namun ada momen-momen tertentu dimana tekanan akan  rutinitas itu makin menggila dan tak mengenal kompromi. Saya misalnya, sebulan ini serasa dikejar oleh pekerjaan ad hoc yang tak henti.
 Seharian dihabiskan untuk mengumpulkan data di lapangan, malamnya kemudian dilanjutkan dengan pengeditan, hingga pengolahan data di depan layar komputer. Hingga hari libur pun terpakai untuk pelatihan dan evaluasi kerja. Bersama teman-teman, kami kerap mengeluhkan hal yang sama. Kepala yang migrain, pinggang yang serasa nyeri, persendian yang melemas, lingkaran mata yang makin menegaskan gurat kelelahan. Dan lain-lain.
Bekerja dengan diburu deadline ketat  memaksa untuk memanfaatkan tiap waktu dengan maksimal. Sekalipun itu harus berbenturan dengan guyuran hujan  hingga teriknya matahari. Pada akhirnya, kenikmatan bekerja itu akan terkalahkan oleh rasa jenuh, jika dilakukan sudah tidak sesuai lagi dengan kapasitas terpasang seseorang. Efeknya saya rasakan pagi ini. Setelah memaksa menerobos hujan kemarin, memporsirkan diri menyelesaikan banyak pekerjaan dalam waktu bersamaan. Saya pun terasa kalah oleh kondisi fisik yang melemah sejak semalam hingga pagi ini. Semangat pun ikut melemah. Sendirian di rumah dengan kondisi tak fit sungguh sangat menyedihkan.
Suara di ujung telepon itupun akhirnya datang menghibur. Beliau adalah Ibunda yang tak putus menelepon saban harinya. Kami memang telah bertahun-tahun hidup berbeda kota. Sejak zaman saya kuliah hingga berkerja. Nyaris sembilan tahun tak lagi secara fisik tiap hari  melihat tatapan cintanya. Menikmati lezat makanannya, dan merengek-rengek meminta sesuatu padanya.   Pagi itu serasa ada ikatan batin. Beliau dengan intonasi tajam,  menanyakan keadaanku di hari libur pagi ini. Tentu saja kujawab dengan mengatakan kabar baik, untuk menghilangkan gundah dan kepanikannya di sana. Karena bukankah kesedihan terbesar orangtua ketika mengetahui anaknya melemah !
Setelah cukup bermanja-manja dengan beliau via handphone,  saya pun meminta untuk dikirimkan masakan buatannya.  Beliau dengan senang hati menyanggupi. Hal yang sangat sering ditawarkannya, namun kadang kutolak karena pertimbangan tak ingin membuat repot beliau. Apalagi, jajanan makanan jadi di sini bisa dengan mudah kudapatkan.
Secara kebetulan, tetangga di sana rupanya ingin berkunjung ke Makassar. Gayung pun bersambut. Makanan ini akan aman dalam perjalanan. Mama memasak dengan rasa riang. Meski beliau mengomel  menyesalkan, kenapa bukan kemarin saya meminta untuk dikirimkan masakannya. Jadi ada banyak waktu untuknya membuat makanan favoritku,  bebek palakko, pallu mara bolu, atau sayur tuttu. Alhasil, beliau hanya memasak bahan-bahan  yang tersedia di kulkas saja. Tapi apapun itu, saat ini saya ingin menikmati apapun hasil olahan tangan beliau.  Jika merindu begini, saya biasa menyalurkannya dengan pulang ke sana, menempuh 125 km jika wiken telah tiba. Tapi, kondisi yang tidak fit ini memaksa untuk berdiam diri saja, mengistirahatkan pikiran dan raga.
 Hasilnya, masakan sederhana itu telah diciptanya untuk kemudian dititipkan kepada tetangga yang hendak berlaju melewati kota tempatku berada. Tumis  sambal cakalang, tahu kecap, telur santan, hingga ubi disusunnya dengan apik dan kuat dalam rantang (panci kecil yang bersusun). Meski sayur kesukaanku, sayur tuttu yang terbuat dari daun singkong muda,  yang dihaluskan, kemudian dilengkapi dengan terong da  kacang panjang serta lumuran santan dan rempah-rempah tradisional itu, tak bisa disertakannya.
Aroma masakan  itu sungguh harum setibanya. Tak butuh waktu lama untukku melahap  semua jenis makakan itu. Nasi padang, nasi goreng, gado-gado, sate, bakso, mie ayam yang menjadi santapan hari-hariku serasa tidak bernilai apa-apa, jika dibandingkan makanan yang tersaji di depan mata ini.  Makanan sederhana, yang di dalamnya  terdapat pesan cinta kasih sayang, dan doa seorang Ibu. Saya hampir lupa kalau semalaman hingga  pagi tadi, tangan dan kaki saya kelu menggigil dikarenakan demam tinggi. Menahan sendiri sakit di balik selimut. Serta rasa jenuh akibat tekanan pekerjaan yang sempat menguasa. Semuanya kini hilang perlahan-lahan. Energi itu kembali hidup. Alhamdulillah. Hari ini saya masih merasakan cinta itu. Cinta hakiki yang lahir dari rahim ketulusan dan keikhlasan. Kemudian mengalir dalam racikan-racikan masakan. Humm. Jenuh itu kini terobati Bunda.

0 komentar:

Posting Komentar