Titik jenuh.
Setiap orang tentunya berpotensi untuk sampai di titik ini, dalam tiap potongan
hidupnya. Jenuh bisa jadi lahir dari rutinitas berulang yang monoton. Meski itu adalah kewajiban, tapi
adalah menyenangkan jika rutinitas
itu disisipi dengan aktifitas lain yang meringankan
beban kerja otak dan fisik. Menyalurkan hobby, refreshing, ataukah berkumpul
dengan keluarga tercinta misalnya. Namun ada momen-momen tertentu dimana
tekanan akan rutinitas itu makin
menggila dan tak mengenal kompromi. Saya misalnya, sebulan ini serasa dikejar
oleh pekerjaan ad hoc yang tak henti.
Seharian dihabiskan untuk mengumpulkan data di
lapangan, malamnya kemudian dilanjutkan dengan pengeditan, hingga pengolahan data
di depan layar komputer. Hingga hari libur pun terpakai untuk pelatihan dan evaluasi
kerja. Bersama teman-teman, kami kerap mengeluhkan hal yang sama. Kepala yang migrain,
pinggang yang serasa nyeri, persendian yang melemas, lingkaran mata yang makin
menegaskan gurat kelelahan. Dan lain-lain.
Bekerja
dengan diburu deadline ketat memaksa untuk memanfaatkan tiap waktu dengan
maksimal. Sekalipun itu harus berbenturan dengan guyuran hujan hingga teriknya matahari. Pada akhirnya,
kenikmatan bekerja itu akan terkalahkan oleh rasa jenuh, jika dilakukan sudah
tidak sesuai lagi dengan kapasitas terpasang seseorang. Efeknya saya rasakan
pagi ini. Setelah memaksa menerobos hujan kemarin, memporsirkan diri menyelesaikan
banyak pekerjaan dalam waktu bersamaan. Saya pun terasa kalah oleh kondisi
fisik yang melemah sejak semalam hingga pagi ini. Semangat pun ikut melemah.
Sendirian di rumah dengan kondisi tak fit sungguh sangat menyedihkan.
Suara di
ujung telepon itupun akhirnya datang menghibur. Beliau adalah Ibunda yang tak
putus menelepon saban harinya. Kami memang telah bertahun-tahun hidup berbeda
kota. Sejak zaman saya kuliah hingga berkerja. Nyaris sembilan tahun tak lagi
secara fisik tiap hari melihat tatapan
cintanya. Menikmati lezat makanannya, dan merengek-rengek meminta sesuatu padanya.
Pagi
itu serasa ada ikatan batin. Beliau dengan intonasi tajam, menanyakan keadaanku di hari libur pagi ini.
Tentu saja kujawab dengan mengatakan kabar baik, untuk menghilangkan gundah dan
kepanikannya di sana. Karena bukankah kesedihan terbesar orangtua ketika mengetahui
anaknya melemah !
Setelah
cukup bermanja-manja dengan beliau via handphone, saya pun meminta untuk dikirimkan masakan
buatannya. Beliau dengan senang hati
menyanggupi. Hal yang sangat sering ditawarkannya, namun kadang kutolak karena pertimbangan
tak ingin membuat repot beliau. Apalagi, jajanan makanan jadi di sini bisa
dengan mudah kudapatkan.
Secara kebetulan,
tetangga di sana rupanya ingin berkunjung ke Makassar. Gayung pun bersambut.
Makanan ini akan aman dalam perjalanan. Mama memasak dengan rasa riang. Meski
beliau mengomel menyesalkan, kenapa
bukan kemarin saya meminta untuk dikirimkan masakannya. Jadi ada banyak waktu
untuknya membuat makanan favoritku, bebek palakko, pallu mara bolu, atau sayur tuttu. Alhasil, beliau hanya memasak
bahan-bahan yang tersedia di kulkas
saja. Tapi apapun itu, saat ini saya ingin menikmati apapun hasil olahan tangan
beliau. Jika merindu begini, saya biasa
menyalurkannya dengan pulang ke sana, menempuh 125 km jika wiken telah tiba.
Tapi, kondisi yang tidak fit ini memaksa untuk berdiam diri saja,
mengistirahatkan pikiran dan raga.
Hasilnya, masakan sederhana itu telah
diciptanya untuk kemudian dititipkan kepada tetangga yang hendak berlaju
melewati kota tempatku berada. Tumis sambal cakalang, tahu kecap, telur santan, hingga ubi disusunnya dengan apik dan kuat
dalam rantang (panci kecil yang bersusun). Meski sayur kesukaanku, sayur
tuttu yang terbuat dari daun singkong muda,
yang dihaluskan, kemudian dilengkapi dengan terong da kacang panjang serta lumuran santan dan
rempah-rempah tradisional itu, tak bisa disertakannya.
Aroma
masakan itu sungguh harum setibanya. Tak
butuh waktu lama untukku melahap semua
jenis makakan itu. Nasi padang, nasi goreng, gado-gado, sate, bakso, mie ayam
yang menjadi santapan hari-hariku serasa tidak bernilai apa-apa, jika
dibandingkan makanan yang tersaji di depan mata ini. Makanan sederhana, yang di dalamnya terdapat pesan cinta kasih sayang, dan doa
seorang Ibu. Saya hampir lupa kalau semalaman hingga pagi tadi, tangan dan kaki saya kelu menggigil
dikarenakan demam tinggi. Menahan sendiri sakit di balik selimut. Serta rasa
jenuh akibat tekanan pekerjaan yang sempat menguasa. Semuanya kini hilang
perlahan-lahan. Energi itu kembali hidup. Alhamdulillah. Hari ini saya masih
merasakan cinta itu. Cinta hakiki yang lahir dari rahim ketulusan dan
keikhlasan. Kemudian mengalir dalam racikan-racikan masakan. Humm. Jenuh itu kini
terobati Bunda.
0 komentar:
Posting Komentar