RSS

Selasa, 22 Oktober 2013

Jangan Tanya ‘Kapan Saya Menikah!’



          Menikah, adalah hal mutlak yang sudah pasti diimpikan semua manusia-manusia dewasa. Kaum perempuan, boleh jadi pemimpi terbanyak yang ingin merasakan indahnya berumah tangga. Dilandaskan  keinginan untuk memiliki pelindung dan pemimpin di balik kelemahannya. Di usia yang tak lagi remaja, tentunya menikah menjadi pilihan tebaik untuk lebih menyempurnakan selagi menyeimbangkan hidup. Dan banyak kejadian, rezky orang (terutama laki-laki sebagai kepala keluarga) justru akan terbuka lebar setelah Ia menikah. Rezky sang anak, bisa jadi diturunkan Allah melalui orangtua.
      Dalam Al-Qur’an pun jelas menyerukan menikah (Q.S AR-Ruum:21). “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya diciptakan-Nya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu mendapat ketenangan hati ,dan dijadikan-Nya kasih sayang diantara kamu.

Tapi yang  perlu digarisbawahi ialah bahwa tak hanya rezky dan kematian saja yang  misteri. Jodoh adalah termasuk urusan yang sangat misterius. Semua tergantung dari izin dan ridho Sang Khalik. Mengenai perjumpaan, kemudahan, kesulitan, dan jalannya pun tak ada satu manusiapun yang bisa menebak. Dalam banyak hal, semua rencana bisa terbalik seperti membalikkan telapak tangan. Perjuangan bertahun-tahun untuk merengkuh calon pasangan sebagai jodoh, bisa jadi gagal secepat kilat. Begitupun perjumpaan yang secepat kilat, bisa berbuah datangnya jodoh yang tak disangka-sangka. Sangat rumit untuk bisa menerkanya. Dan terlalu pongah, jika bisa menunjuk seseorang adalah jodoh sejati kita. Tuhan adalah perancang skenario terbaik untuk hamba-hambanya.
            Beruntunglah mereka, yang di usia idealnya telah menemukan belahan jiwanya. Hidup indah, dan dikarunia buah hati pelengkap kebahagiaannya, buah hati sebagai generasi yang kelak bisa menghubungkannya ke  syurga. Tapi hidup selalu adil untuk orang-orang yang senantiasa bersyukur. Sejuta kebahagiaan besar lain tak boleh dikesampingkan, meski kebahagiaan berumahtangga belum di genggaman. Terhadap mereka yang di ambang umur masihlah sendiri, belum menemukan pendamping hidupnya. Selalu saja ada pertanyaan kenapa Tuhan belumlah mengirim manusia terbaiknya. Apakah benar, menikah adalah hak prerogatif masing-masing orang!  Wallahu A’lam. Semua tentu atas izin-Nya.
Sepasang Pengantin
Terlambat menikah terkhusus bagi kaum perempuan,  seperti momok menakutkan yang kerap menghantui hari-hari. Apalagi paham primordial yang kerap memojokkan, mencibir, dan melekatkan label ‘tidak laku’ dikarenakan belumlah menikah. Hal ini tentunya menambah beban psikis yang ditanggung sang perempuan. Tidak ada satu perempuan di muka bumi ini yang secara naluri tidak ingin mengecap nikmatnya berkeluarga. Bersama-sama pasangan hingga usia senja, dan menjemput sukses bersama-sama. Semandiri-mandirinya seorang perempuan, dia tetap membutuhkan seorang pebijaksana yang bisa menenangkannya menghadapi getirnya hidup. Sebaliknya pun demikian. Setangguh-tangguh dan setingginya jiwa petualang pria, kelembutan perempuan tetap dibutuhkannya untuk membangun semangatnya.
        Pertanyaannya kemudian, apakah cepat menikah menjadi tolak ukur kebahagiaann seseorang. Lantas, yang belum menikah hanya menjadi sang pujangga malam yang  hanya duduk termangu‘menunggu’? Miris memang, ketika kita menyikapinya dengan pikiran dangkal. Serasa mendikte Allah agar cepat-cepat dikirimkan pasangan yang diinginkan.
Umur saya menjelang 26 tahun saat menulis ini. Dan saya menulis ini sebagai bahan renungan, dan instrospeksi diri di masa penantian mendapat jodoh dari Illahi. Izinkan saya mengurai apa yang tertanam di hati saya saat ini. Mungkin hal yang sama juga dirasakan oleh sebagian perempuan. Ketika satu pertanyaan yang bisa seketika menohok ke sanubari terdalam. Pertanyaan yang ketika terlontar membuat kelu seluruh urat syaraf. Pertanyaan yang bisa tumpah ruah kapan dan dimanapun kita berada. Kapan Menikah?
Kamu tahu tidak, dentuman yang saya rasakan ketika mendengar  rekan seumuran  satu-persatu telah menemukan kekasih halalnya. Silih berganti undangan pernikahan teman menjadi trend menyambung silaturahmi. Kamu tahu tidak, getir teramat dalam, kala menghadiri acara aqiqah anak pertama, kedua, bahkan ketiga teman sepermainan kita ? Kamu tahu tidak, tangis yang terbendung kala menyaksikan bocah kecil dengan tingkah khas nya merengek-rengek kepada ayah ibunya yang merupakan teman seangkatan kita. Rasanya seperti ditampar berkali-kali. Pemandangan yang sangat indah di depan mata. Tetapi di bagian lain ada bagian tubuh yang merasakan perih tersayat-sayat.
            Saya bukannya tak senang melihat itu, kawan. Justru saya sangat bahagia melihat potret kemesraan kalian. Sangat. Hingga lirih di lubuk hati terdalam menginginkan kebahagiaan yang terpampang itu bisa berlangsung selama-lamanya.Tapi, bukankan kita diciptakan dengan naluri cinta yang mendalam. Jujur, saya ingin sama dengan kalian. Saya ingin berada di posisi itu juga. Saya ingin mengecap nikmat kebersaman yang juga kalian rasakan. Terkadang di tempat keramaian, jujur batin saya merintih. Laksana formasi  bintang nan indah di atas sana, orang di sekeliling kita telah berhasil memetiknya. Dan saya masih terjebak oleh pusaran waktu. Tapi bukankah, jauh di atas sana ada Sang Maha Tahu, kapan waktu yan tepat mengabulkan do’a hamba-hambanya.
Berharap terlalu besar kepada sesama manusia pun, bukan opsi yang tepat untuk membuang kegalauan itu. Sebab, ketika harapan itu kandas di tengah jalan, kekecewaan dan depresi yang akut malah akan menerkam. Dan tentu saja akan berpengaruh terhadap aktifitas keseharian kita.
Saya telah melewati  itu, menggantungkan harapan setinggi-tingginya kepada sesama manusia. Dan ketika hal itu di luar ekspektasi kita. Maka yang terjadi apa?Rasa kecewa itu akan beranakpinak. Menggerogoti seluruh ruang-ruang positif dalam diri. Hingga ruang negatif penghasil pikiran negatif lah yang akan kita dapatkan. Ibarat pepatah, sudah jatuh malah tertimpa tangga pula. Dan alhasil, segala hal yang menjadi penyebab kandasnya harapan kita menjadi penilaian negatif yang diputuskan mentah-mentah. Tragis memang.
Persoalan jodoh, Tuhan memang begitu cerdas menguji kesabaran kita. Saya bahkan sempat lupa, bahwa Tuhan tidak akan membiarkan hambanya berlarut-larut dalam kesengsaraan dan kesendirian, kecuali akan ada kebahagiaan besar yang menghampiri. Ajaib bukan! Akan ada kebahagiaan besar yang disimpan Tuhan. Mari mengindahkan diri dalam kesabaran. Jangan terlalu fokus pada persoalan pernikahan, siapa yang kelak akan menjadi jodoh kita biarlah menjadi wewenang Sang Khalik. Dia sungguh telah menjaminnya dalam Al-Qur’an Q. S An-Nur :26. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”. Sudah pantaskah kita menjadi dan mendapatkan yang baik itu? Dan lagi, introspeksi diri adalah jawabnya.
Yang menjadi persoalan adalah kita hanyalah perempuan biasa yang  terbentuk dengan kelemah-lembutannya. Ketahuilah Kawan! Pertanyaan kenapa belum menikah itu, sungguh merobek ketegaran. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita focus meng-upgrade diri. Terus menambah kualitas diri, mengumpulkan ilmu dari beragam penjuru, mengasah bakat yang sempat terbengkalai, dan yang utama menjadi pribadi dan muslimah yang baik di mata Allah. Saya tak risau sedikitpun dengan janji Allah tentang jodoh. Saya hanya risau dan takut, ketika tak bisa menahan tangis di hadapan kalian, saat pertanyaan ‘Kapan Menikah’ itu berdengung hebat.
Pertanyaan itu seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Meski  sadar, pertanyaan itu  tak lebih dari bentuk kepedulian orang-orang yang menyayangi kita. Tapi cukuplah saya menyimpan kerinduan dalam bait-bait doa, berlinangan bercerita hanya di depan Sang Khalik, menyimpan segala rindu itu di sepertiga-sepertiga malam. Serta senantiasa bersyukur akan sejuta nikmat yang lainnya. Tapi tolong sekali lagi, jangan mengoyak ketegaran ini dengan pertanyaan,‘Kapan Menikah’.




0 komentar:

Posting Komentar