RSS

Senin, 07 Oktober 2013

Bunga yang Cantik & Tangguh



Alisnya tebal.  Diperindah dengan bulu mata yang lentik. Bibir yang tipis menyempurnakan pesona ayunya  kala menyunggingkan senyum.  Mata sendu dengan hidung yang nyaris bangir, menambah kesempurnaan estetika di wajahnya. Ditambah postur tubuh yang tinggi padat dengan kulit putih yang melekat.  Rambut panjang indahnya terurai menyentuh setengah lengannya, memberi keanggunan tersendiri  jika melihatnya berlenggok.
Dialah Bunga, teman baik saya selama hampir dua setengah tahun ini. Pekerjaan saya yang menuntut analisis data pengunjung hotel tiap bulannya, mengantarkan saya menjalin hubungan baik dengan perempuan ramah ini. Dia sebagai staf administrasi sebuah hotel kelas melati di daerah saya. Dan melalui dia-lah , rekapan data hotel itu saya kumpul tiap bulannya. Kami sering berdiskusi panjang, dari  masalah tamu hotel yang cerewet, tamu yang makin sedikit,  hingga perkembangan hotelnya yang stagnan. Dan sudah dipastikan, tawa renyahnya pasti melekat manis sepanjang obrolan kami.
Usia  yang seumuran, membuat kami memiliki banyak kesamaan sebagai perempuan. Umur kami hanya terpaut tiga bulan. Obrolan-obrolan kami selaras, dalam banyak hal. Dia ternyata lebih dewasa dari yang kusangka. Ketika bertemu dengannya, kami saling tertawa lepas. Menghayalkan banyak hal, mengoreksi kenakalan-kenakalan masa lalu, mengimpikan masa depan yang penuh bahagia, dan mencurahkan sekantung asa tentang pendamping hidup. Untuk soal ini, kami menguraikannya dengan waktu dan tawa yang panjang. Maklum, kami dengan kesamaan umur di seperempat abad tentunya memiliki harapan yang sama soal pendamping hidup kelak. Kami berdua masih sendiri, itu yang saya ketahui.
Memiliki kepribadian ekstrovert membuat saya blak-blakan dengan semua teman. Terkhusus dia, yang menjadi teman baik saat ini. Saya memilihnya sebagai tempat mencurahkan segala kesedihan, kesal, dan kecewa. Apalagi kesamaan kami yang berada jauh dari orangtua. Dia begitu dewasa mencerna setiap masalah yang saya ceritakan, dan memberi solusi dan jalan keluar terbaik. Belum lagi nasihat-nasihat bijaknya yang seperti angin sejuk. Sejuk karena dia menyarankan melihat semua masalah dari perspektif positif. Tidak menyalahkan keadaan, sebaiknya memintaku untuk senantiasa bersyukur akan masalah-masalah yang menghadang.” Bukankah husnudzon itu menyejukkan jiwa? Tuhan itu pintar”, itu kalimat andalannya tiap kali saya berbagi cerita pahit.
Tak jarang saya bertanya padanya. Apakah kamu tidak punya masalah selama ini. Saya rasa-rasa kok hidupnya datar-datar saja. Tidak pernah bahkan dia menceritakan satu peristiwa pahit yang dialaminya. “Apakah kamu tidak percaya dengan saya?” Tanyaku tiap kali kudesak kenapa tidak pernah berkeluh-kesah padaku. Bukankah kita bersahabat. Saya pun ingin tahu tiap potongan hidupnya, entah itu suka maupun duka.  Karena tiap kali bertemu, obrolan kami hanya membahas seputar potret kehidupan saya. Tentang keluhan-keluhan saya, tentang hubungan vertikal saya dengan Tuhan, dan permasalan horizontal saya dengan sesama manusia. Dia pun hanya semangat bercerita tentang keluarga besarnya di Kabupaten Barru, saudara-saudaranya yang menyebar, tentang kebahagiaannya bekerja di hotel kelas melati meski dengan gaji standar,  tentang tipikal pimpinannya, tentang keinginannya berhijab yang belum bulat, tentang kenyamanan tempat kost-nya, dan tentang masa depan indah yang diyakininya.
 Dia menceritakan semua dengan energi dan sudut pandang yang positif. Seolah-olah Tuhan tidak memberinya sekaliber masalah dan ujian hidup. Seolah-olah tidak ada kegetiran di muka bumi ini. Masalah hanyalah kamuflase dari sebuah kebahagiaan besar yang dijanjikan Tuhan. Temanku ini benar-benar menikmati bagian hidupnya  dengan rasa bahagia yang melimpah. Senyumnya yang terus mengambang seolah memancing justifikasi akan hidupnya yang senang, berbalut sukacita. Saya benar-benar iri dibuatnya. Yang sangat tidak bisa menyembunyikan tiap masalah yang sedang berkecamuk di hati. Saya yang doyan mengeluh, sangat bertolak belakang dengannya yang pandai bersyukur.
Saya kadang usil dan mengganggunya. Pasti dengan rupa cantik nan jelita itu, dia memiliki banyak fans yang memujanya. Dia lagi-lagi dengan jurus andalannya. Tersenyum dan berujar bahwa Tuhan itu pintar. Dia tahu kapan waktu yang tepat melepas hambanya dari kesendirian. Sendiri telah dipilihnya dari dulu. Telah bertahun-tahun. Tidak penting memikirkan soal pasangan. Karena menikmati proses hidup itu lebih indah. Bersyukur adalah juaranya. Saya benar-benar terperangah mendengar jawabannya. Dia cantik dan menarik, tetapi lebih memilih sendiri, di usia yang sudah sangat matang.
Hingga dua tahun hubungan persahabatan kita. Satu waktu, saya tiba-tiba ingin bertandang ke tempat kost-nya. Dia memang pernah menceritakan letak tempat kost-nya yang sangat mudah ditemukan di perbatasan kota. Dan saya dengan mudahnya bisa mendapatkan alamat yang dimaksudnya. Yah, dari dulu memang dia kerap menawariku bertandang ke tempatnya. Untuk mengetahui lebih dalam lagi kebahagiaannya, katanya waktu itu.
Hingga sebuah fakta mengejutkan akhirnya menyadarkan saya. Dari sebuah bilik kamar triplek yang disewanya dengan ukuran 3x4 m. Di sudut-sudut kamar dipenuhi dengan boneka-boneka pink, robot mainan, tas sekolah anak-anak, buku-buku yang berserakan, serta peralatan makan yang seadanya. “Bunda, ada temanta”, lantang seorang bocah laki-laki.  Kenyataan ini seperti menampar saya seketika. Inikah kebahagiaan lain yang Bunga maksud. Diumur yang sama denganku, dia harus membagi perhatiannya dengan dua bocah sekaligus. Seorang diri. Rasa-rasanya saya tak berniat untuk membayangkan posisinya. Saya menatapnya tajam.  Lagi, dengan senyum renyahnya dia menjelaskan. Ini kebahagiaannya. Hidup bersama dua orang anak kandungnya. Anak pertamanya perempuan, yang telah duduk di kelas 1 SMP, dan yang kedua bocah laki-laki yang masih duduk di kelas V SD.
Dia menjelaskan semuanya. Duduk di bangku SLTP Kelas III, Ia dijodohkan dengan seorang laki-laki yang usianya 20 tahun lebih tua darinya. Umurnya masih  14 tahun kala itu. Dia menerima saja kemauan orangtuanya. Pernikahannya langgeng hingga dikaruniai anak kedua. Sebelum akhirnya dia harus menyerah pada badai besar, yang meluluhlantakkan rumah tangganya. Umur yang belumlah matang membuat matanya terbuka lebar. Dia terperangkap dalam situasi itu. “Menikah itu persoalan kecocokan jiwa, Shel, kami tidak cocok dan tolong jangan tanyakan mengapa,” jawabnya datar ketika kuusik soal nasib buah hatinya setelah memutuskan pisah dengan sang suami.  
Saya hampir tak pernah membayangkan kondisi rumit yang ternyata mengiringi hidup Bunga. Hidup bertiga dengan dua anak kandungnya. Tanpa subsidi se sen pun dari mantan suaminya yang telah menikah lagi. Dia harus membanting tulang. Menyekolahkan buah hatinya setinggi-tingginya. Dan menerima semua pemberian Tuhan ini dengan penuh sukacita. Ya Tuhan. Airmata saya seolah tertampung, menahan perih yang dialami Bunga. Masalah-masalah yang selama ini saya ceritakan padanya, seolah tak ada apa-apanya dengan tanggung jawab besar yang dipikulnya. Saya benar-benar tak habis fikir. Ada rahasia besar yang tersembunyi di balik senyum renyahnya selama ini. Bagaimana bisa, di ruang sempit itu, dia bisa mengelola hidup dengan dua bocah kecil. Membagi perhatiannya. Bagaimana bisa dengan gaji yang hampir hanya seperempat dari gajiku, dia bisa menghidupi dua nyawa yang masih di bawah umur!Bagaimana bisa, diumurnya yang sama dengan umurku, dia bisa mengontrol anak gadisnya yang menginjak remaja! Bagaimana bisa dia melalui malam-malam kelam bertiga tanpa seorang kepala keluarga! Apakah dia tidak takut ancaman kriminal yang mengintainya tiap saat!
Saya makin iri dengan Bunga. Dia membuktikan dirinya tak hanya cantik, tapi juga tangguh. Saya pun jujur, tidak tahu akan berbuat apa jika berada di posisinya. Mengurus diri sendiri saja masih repot, apalagi harus mengurusi dua anak yang sedang tumbuh berkembang. Saya dengan sensitifitas yang tinggi, dengan mental kerupuk, dengan keluhan yang panjang, dengan kejengkelan terhadap orang-orang yang tidak bisa mengerti saya. Ternyata hanyalah secuil dari sebongkah kenyataan pahit Bunga. Tapi justru sebaliknya, dia sangat menikmati itu. Hidup bersama dengan buah hatinya di ruang yang sempit, mengejar masa depan yang cerah. Tapi senyum lagi-lagi bisa mewakili kebesaran hati Bunga. Bukan air mata, atau rentetan keluh kesah seperti yang kerap kuperlihatkan. Saat hendak pulang, saya bertanya. “Apakah pendapatanmu cukup membiayai anak-anakmu?” Dan dengan senyum cantiknya dia menjawab, “Tuhan itu pintar, termasuk pintar mengurusi rezky anak-anakku.”


7 Oktober 2012

0 komentar:

Posting Komentar