RSS

Selasa, 12 September 2017

17 Agustus dan Orang yang Dibakar Hidup-Hidup

(Tulisan ini memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia  ke-72)

Awal agustus kita dihebohkan dengan berita pilu. Berita Muhammad Al Zahra alias Joya (25), yang tewas mengenaskan di Babelan, Kabupaten Bekasi. Joya dikeroyok dan dibakar hidup-hidup oleh sekelompok orang setelah dituduh mencuri amplifier sebuah mushalah. Indonesia yang merupakan negara hukum, Indonesia yang bulan ini merayakan hari kemerdekaannya yang ke-72, dan selama itu pula menyatakan diri sebagai bangsa yang berdaulat, seorang anak bangsanya meregang nyawa di tangan para hakim jalanan. Disaksikan ratusan pasang mata yang mematung.  
Akhir-akhir ini Bangsa Indonesia seperti dihadapkan pada krisis moral. Terlalu jauh membahas masalah krisis garam, belenggu utang, calon presiden mendatang beserta peta kekuatannya. Justru hal mendasar, yakni toleransi  dan empati atas dasar kemanusiaan  semakin waktu makin memudar. Melihat viral video seorang bapak muda beranak satu, yang diduga pelaku pencurian amplifer, tanpa memperhatikan asas praduga tidak bersalah, dihajar habis-habis di sekujur tubuhnya oleh sekelompok orang. Melihatnya, hati terasa perih tersayat-sayat. Jika mungkin ada di Tempat Kejadian Perkara (TKP), ingin sekali menolong satu nyawa yang menjadi tumpuan hidup keluarga kecilnya itu. Tak cukup dengan melihat korban tergolek tak berdaya, sekelompok orang tersebut kemudian saling terprovokasi untuk menyirami korban yang telah berdarah-darah dengan bensin, memercikkan api, hingga sekujur tubuh yang kesakitan itu  terpanggang tanpa ampun.  

Kue Ramadhan itu Bernama PIA



(Tulisan ini diikutkan dalam lomba Menulis Kompetisi Islami Ramadhan 1467 H BPS RI)
Matanya sayu, kantung matanya menggantung, bulir-bulir keringatnya menetes tak tahan dengan teriknya matahari. Dari  kerongkongannya yang gersang, keluar pertanyaan-pertanyaan terkait ongkos-ongkos yang dikeluarkan petani dalam usaha palawijanya. Probingnya sangat dalam. Menjadi kesyukuran karena petani respondennya kali ini cukup pendidikan. Sehingga pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan mudah saja dimengerti dan dijawabnya. Karena jika tidak, suara harus terkuras banyak untuk mengulang dan mencari padanan kata yang tepat, atau dialek lokal yang mudah dimengerti petani. Tangannya pun terus bergerak, menyimpan hasil tangkapan jawaban yang diincarnya. Syiar Ramadhan berkumandang. Dari speaker masjid tak jauh dari tempatnya mencacah, terlantun merdu Surah Al-Bakarah Ayat 183.
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian untuk berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertakwa.”