Minggu adalah saat yang dinanti banyak orang.
Para pekerja, siswa, mahasiswa, dan entah siapapun pasti menyenangi kala berakhir
pekan. Saat yang tepat untuk meluruhkan segala penat setelah seminggu
beraktifitas. Bercengkrama sepanjang hari bersama keluarga, teman, dan orang
terdekat. Mengakrabkan diri dengan
hobby. Atau minimal, minggu adalah waktu untuk memanjakan(baca: perawatan) diri.
Tapi
yang terjadi pada sebagian orang tidaklah setenang itu itu. Kami contohnya,
sebagai ujung tombak data statistik, kami kerap menggunakan segala waktu untuk
mengumpulkan data primer dari responden rumah tangga, industri, kontraktor,
dsb. Tuntutan pekerjaan yang harus tepat waktu. Memaksa kami untuk kreatif
mencacah (baca: mendata) di lapangan,
dan pintar-pintar mencari celah waktu yang tepat, untuk melunasi segala survey maupun
sensus. Seperti yang terjadi minggu ini. Kami sudah dipastikan menggunakan
waktu libur untuk bekerja. Hal ini karena banyak kegiatan ad-hoc yang menumpuk di bulan ini. Dan karena deadline pekerjaan yang semakin dekat, ditengah beban kerja yang
bejibun. Tapi bukan sekelumit kisah itu yang hendak saya bagi, melainkan tiga
peristiwa hari ini yang sedikit mengusik, sekaligus menentramkan hati.
Sebagai
petugas lapangan, kami diberi beberapa fasilitas oleh negara. Salah satunya
ialah motor dinas. Ketika langit lagi-lagi cerahnya, terbayangkan minggu tenang
ini adalah saat yang pas untuk menyelesaikan beberapa survei yang tertunggak,
dikarenakan beberapa responden baru berada di rumah ketika hari minggu. Di tengah
perjalanan, saya singgah di sebuah swalayan mini di batas kota untuk membeli
sebotol air mineral dan beberapa cemilan, sebagai bekal masuk mencacah ke
sebuah desa. Maklum, kadang
warung-warung kelontong jarang kita temui ketika berada di pedalaman rumah
penduduk. Pun jika ada, kue atau minuman tersebut telah expired ataukah melempem. Di parkiran motor, saya seperti mendengar
petir di siang bolong, tatkala seorang Ibu paruh baya yang berpakaian sangat
elegan lengkap dengan high heel nya berkomentar
sarkastik. Tatapannya menusuk tah hanya sampai di mata, tapi sampai di palung
hati . “Motor dinas itu dipakai bekerja, bukan dipakai berhari libur.”
Sungguh
jika bukan karena beliau lebih tua dari saya, mungkin saya akan membalas
sebaris ucapannya itu dengan segudang
pembelaan. Tapi saya lebih memilih tersenyum
dan berlalu. Karena menyanggah ucapannya pun percuma. Ransel punggung
yang berisi belasan kuesioner tidak akan menjawab ocehan Ibu itu. Paling
dipikirnya, bahwa tas ransel itu berisi pakaian yang hendak kubawa berlibur.
Menjelaskan bahwa saya akan mengunjungi sebuah desa dengan jarak tempuh 18 km
dari pusat Kota Maros, pun percuma. Hanya buang-buang waktu. Saya membeli
minuman dan makanan secepatnya, dan segera pergi meluncur blusukan ke pedalaman kabupaten. Semangat yang tadi sempat meletut-letup
kini goyah. Sebaris ucapan Ibu itu sungguh menohok. Justru sebaliknya, minggu
damai ini saya menyerahkan raga ini untuk kepentingan dinas. Mengorbankan
segala janji dengan sahabat. Batin saya merintih tak terima.
Tidak semua kebaikan yang kita gunakan harus
digembar-gemborkan. Pun, tidak ada satu pasal pun yang memidanakan orang yang
berplat merah di hari libur, bakal dijatuhi sanksi atau tindakan hukum. Ini
hanyalah persoalan etika moral dan kode etik profesi yang memayungi. Seyogyanya,
kita memiliki rasa malu jika memanfaatkan aset negara yang bukan untuk
peruntukannya. Atau mendahulukan kepentingan pribadi dengannya. Sampai di sini,
saya mencoba menjernihkan nalar saya. Ibu itu tidak sepenuhnya salah, karena
tidak semua orang tahu akan ritme kerja kita. Saya pun paham betul, segala fasilitas
negara itu berasal dari uang rakyat melalui APBD/APBN. Konsekuensinya adalah, tanggungjawab adalah harga mati untuk
menyelesaikan segala kewajiban terkait kinerja.
Motor berlaju, hingga mata saya tiba-tiba
tersadar akan jarum merah penunjuk volume bahan bakar, berada sedikit di bawah
garis merah. Beruntung 200 meter di depan, ada
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Lagi, telinga saya kembali
dibuat berang oleh celoteh orang norak nan kepo.
Saat hendak menunggu uang kembalian dari petugas SPBU. Seorang Bapak berkumis
tebal dengan tubuh gempal, duduk di samping supir yang mobilnya nyaris
menyentuh ekor motor saya. Dengan wajah gusar, dia tak sungkan langsung
menghardik saya.” Kalau isi bensin motor bukan di sini Bu, tapi di sebelah,” tangannya
sembari menunjuk antrian pengisian BBM subsidi premium. Dalam hati saya
berujar, apakah Bapak ini tidak tahu membaca atau tidak sabaran menunggu untuk
secepat mungkin diladeni. Padahal, saya hanya menunggu uang kembalian sisa
pembayaran BBM pertamax saja. Dan sangat terpampang jelas, informasi mengenai
kewajiban pemakaian bahan bakar pertamax untuk kendaraan dinas.
Saya tersenyum menimpali, dan mengarahkan
jari telunjuk pada secarik lembar
informasi yang tertempel. Saya bisa
saja, membalas hardikan Bapak berkumis itu. Tapi rasa-rasanya enggan saja melakukannya.
Ngeri melihat muka sinisnya. Pemerintah memang telah mengeluarkan Peraturan
Menteri (Permen) ESDM nomor 1 Tahun 2013 tentang pengendalian penggunaan bahan
bakar minyak. Yang intinya larangan menggunakan BBM subsidi untuk segala
kendaraan plat merah, BUMD, dan BUMN. Dimana perubahan harga bahan bakar yang
tadinya hanya 4 500 per liter, kini beralih menjadi 11. 800 per liter. Meskipun
seluruh SPBU di negeri ini, sudah dipastikan menolak mengisi bahan bakar
premium bersubsidi untuk kendaraan plat merah. Kita bisa saja mengisinya di
bensin eceran yang dijual umum di pinggiran jalan. Tapi ini persoalan moral pribadi
dan etika profesi kita. Biarlah selisih dari lonjakan harga BBM itu kita tanggung
sendiri, selama tidak merugikan rakyat kecil.
Dua peristiwa pagi ini seperti ucapan yang
sepersekian detik mematikan semangat. Aghh, hari minggu ini harus berlanjut.
Dengan target kerja yang harus terealisasi. Saya hampir lupa, bahwa
masing-masing orang memiliki penilaian yang berbeda terhadap apa yang kasat
mata dilihatnya, tapi tak diketahuinya.
Semua berjalan sesuai target dan ilusiku. Tidak
salah mengorbankan hari libur ini. Semua pekerjaan selesai sesuai target. Peduli amat dengan dua orang yang
sok tahu pagi tadi. Toh, lebih penting merayakan keberhasilan hari ini.
Perjalanan pulang, dicekik rasa haus, saya singgah di sebuah warung kecil nan
sepi. Namun karena posisi tanah yang agak miring, dan cara standar motor saya
yang tak sempurna. Motor seketika ambruk dan segala ole-ole berupa mangga dan
kue dari responden, berserakan di mana-mana. Sungguh saya tak kuat mengangkat
motor itu, dibantu oleh anak si penjaga warung pun tetap tak kuat. Dan untuk
beberapa menit, tak seorang pun pengendara motor lewat untuk kumintai
pertolongan.
Hingga seorang kakek yang kutaksir berumur 65
tahun, tengah mendorong sebuah gerobak kecil berisi segopok kayu bakar. Datang mendekat dengan sisa-sisa tenaganya. Mengambil
alih setir motor, dan mencoba perlahan mengangkatnya hingga berdiri tegak. Dengan
nafas tersengal, dia tersenyum dan menyarankanku untuk lebih hati-hati.
Peristiwa yang sederhana, tetapi sungguh menyentuh mata batin ini. Terimakasih
telah menolong. Dalam hati, saya mendoakan segala kebaikan untuk kakek itu. dan
dua peristiwa pahit tadi seketika hilang oleh sebuah kebaikan kecil sore ini. J
2 komentar:
Kisah yang sangat inspiratif.
Sy masih butuh belajar banyak sm dirimu sobat.hahha
Posting Komentar