RSS

Jumat, 07 Februari 2014

Kado Pernikahan Untuk Sahabatku


                 Berbalut seragam putih abu-abu, kisah persahabatan itu kita rajut. Satu dekade lebih telah berlalu kawan, dan saya ingat betul kala pertamakali kita berkenalan. Kamu pindahan dari sekolah dan kota berbeda waktu itu. Dari kursi paling belakang, kamu melangkah riang ke mejaku,  hendak meminjam majalah remaja. Disitulah awal perkenalan kita. Dua belas tahun yang lalu. Dengan kotak sejuta mimpi, engkau datang  menawarkan tinta persahabatan
            Tiga tahun kita melewati hari-hari bersama di bangku sekolah. Berbicara panjang tentang musik, Novel Kahlil Gibran, dan band favorit kita (Sheila on7) menjadi santapan hari-hari. Kita memiliki kesamaan untuk tiga hal ini. Pembicaraan kadang melebar ke guru Kimia dan Biologi yang terkenal ‘killer’, atau pelajaran yang melihat rumus-rumusnya seperti membuat kepala sontak migrain, atau gosip cowok & cewek beken di sekolah. Jiwa kita selaras dalam banyak hal.  Kita sering menghabiskan waktu berjalan di sepanjang Pantai Senggol. Ketika jam les sore selesai, sembari melihat-lihat boneka-boneka bekas dari negeri seberang yang dijual bebas sekitar pantai.Hehe. Kamu sering berujar, kelak masa ini akan kita rindukan.

             Lepas SMU, kita berbeda haluan. Berbeda kampus tak membuat persaudaraan kita mengendor. Kesibukan kuliah memang mengurangi perjumpaan kita. Tapi, syukurlah kemajuan teknologi bisa menampik masalah itu. Pun, kita masih sekota. Humm, tema pembicaraan pun mulai berubah. Ketertarikan dengan lawan jenis menjadi wajar di usia yang menginjak dewasa. Kita sering tertawa cekikikan membahas itu.  Setumpuk tugas kuliah, dosen ‘killer’,diktat-diktat yang belumlah tuntas dipelajari menjadi keluhan kita kala bertemu. Saat itulah, kamu memperkenalkan seorang laki-laki yang membersamaimu hingga kini. 
Mengisahkanmu, seperti menceritakan diriku sendiri. Di jiwaku, bersemayam jiwamu. Pun sebaliknya. Saya seperti ‘hidup’ dan tak ingin melepas malam berlalu cepat, jika bersamamu. Kita telah mendaki gunung kesedihan, menempuh laju kehidupan yang selalu tak mulus. Membangun mimpi masa remaja dan dewasa bersama-sama. Bersisian di tengah arus modernitas yang semakin menggila. Kita bergandengan tangan mem-filter pengaruh-pengaruh buruk yang bisa kapan saja merusak cita dan cinta kita. Kita. Remaja tanggung yang belumlah makan asam garam kehidupan.  Beruntung, orang tua membekali kita dengan pondasi agama. Terlebih, dirimu sempat menimba ilmu agama di pondok pesantren. Jadi kita saling mengingatkan dan menegur demi kebaikan bersama.
            Memang benar, ucapan banyak orang bahwa jika ingin menilai corak kepribadian seseorang, maka kenalilah sahabatnya. Kepribadian kita nyaris sama. Ditakdirkan bersama sebagai anak sulung, mungkin menempa kita menjadi pribadi yang cepat dewasa dan mandiri.  Saya tak lagi memperdulikan, bahwasanya orang sedarah atau sesusu-lah yang dikatakan saudara kandung. Kamu lebih dari saudara kandungku. Persahabatan kita sungguh manis dan hangat. Kamu mencintai keluargaku, begitupun aku mencintai keluargamu. Bukan persoalan intensitas kebersamaan yang terlalu sering, menjadi syarat melekatnya titel sahabat. Tetapi, siapa yang setia dan selalu ada. Itulah kamu. Belum lagi pengorbanan dan perhatian, meskipun itu hanyalah secuil tapi mengandung pesan kasih yang dalam. Kamu sering menanyakan kabarku, kesehatanku, kerjaan, kesehatan orangtuaku, hingga kucing kesayanganku. Meskipun jarak dan kesibukan telah membungkam jam-jam kita.
Friend Forever
Di tepi Pantai Senggol, di bawah temaram malam dan gerimis yang membungkus kita. Tangisku sempat meledak. Kamu tahu itu. Aku harus mengikhlaskan selamanya seseorang, yang bahkan sedetik pun tak bisa lepas dari alam sadarku. Kamu memegang tanganku erat, sangat erat. Memeluk piluku. Hingga bisa kurasakan, luka mendalam itu telah terbagi. Deru ombak jadi saksi kepedihan kita berdua. Aku sangat merasakan itu. Tiba-tiba teringat pesan Rasulullah SAW, persaudaraan kaum muslimah adalah seumpama satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh sakit, maka mengakibatkan seluruh tubuh menjadi demam dan tak bisa tidur. Itulah kita. Aku selalu saja merasakan gurat-gurat kesedihan menggelayuti wajah ayumu, ketika mendengar ceritaku. “Kamu adalah orang yang paling beruntung di dunia ini, Shel. Banyak yang menginginkan di posisimu”, ujarmu ketika kunyatakan jenuh dan rasa frustasiku yang hebat dengan pekerjaan. Pun ketika kebaikanku di cabik-cabik orang lain, dirimu hadir bak malaikat. Bahwa sesungguhnya tidak ada yang sia-sia di dunia ini, apalagi amal kebajikan. Kelak, akan dibalas jua dengan kebaikan berkali lipat. Meskipun tidak sekarang. 
Kamu penyemangat jiwaku yang gampang ambruk. Bahkan ketika orang-orang mengatakan aku jelek, kamu berbisik di telingaku kalau aku sesungguhnya bidadari nan jelita. Ketika orang bercerita keburukanku, kamu membalas dengan segudang cerita kebaikanku. Ketika orang-orang bercerita ketidakberuntunganku soal jodoh, kamu berbisik bahwa Tuhan menyimpankan aku orang yang teramat special, karena sesungguhnya aku adalah jiwa yang special dan kaya(kaya akhlak). Ahggg, aku mulai rindu dengan tutur sejukmu.
 Sangat sering pula, aku membangunkan tidur nyenyakmu di pertengahan malam, atau saat ayam-ayam telah berkokok mendahului indahnya lantunan  subuh para mu’adzin. Aku tak mengenal waktu dan tempat jika linglung.  Yang terlintas di kepalaku, selain Ayah Ibu adalah lembut suaramu. Nasehat-nasehatmu seperti oase di padang pasar. Menyejukkan dan meredam letih. Terkadang, engkau membiarkanku dulu tertawa lepas ataukah menangis sejadi-jadinya. Kemudian memberikan komentar. Kamu memang pendengar terbaik yang pernah kumiliki. Rasa-rasanya jiwa yang memendam suatu gejolak berat, akan plong jika dikeluarkan dihadapanmu.
Subuh itu, ketika aku terbangun dan mendapati pesan BBM mu. Sang pangeran hati akan meneruskan niat baiknya untuk meminangmu menjadi pasangan hidup. Hal yang telah lama kau impikan, dan menjadi doa kita. Tak terlukiskan rasa bahagiaku. Doa-doa telah dibaca Sang Pemilik Langit. Kebersamaanmu dengan kekasih hati selama delapan tahun mendapat ridho-Nya. Usai acara Pettuada, aku dan Ibundamu dibungkam rasa bahagia dan haru. Mata kami berkaca-kaca. Bahagia karena  sebentar lagi kamu akan mengecap kebahagiaan baru, menyimpul tali-temali cinta dengan pasangan hidupmu. Akan ada yang mengimami shalat dan hidupmu.
Namun, rasa sedih itu tak bisa kami tepis berdua. Selepas akad nikah, kamu akan terbang ribuan kilometer dari kami. Hidup menjauh ke wilayah tengah Papua. Tepatnya di Wamena, Ibukota Kabupaten Jayawijaya. Daerah yang sangat sulit dijangkau, dan terisolasi diantara gunung-gunung menjulang yang sangat hijau. Serta bergantung  pada transportasi udara. Ini yang membikin aku dan ibumu sedih. Belum lagi wabah penyakit Malaria yang menjamur di wilayah ini. Namun ini sudah jalan Sang Khalik. Kamu akan turut mendampingi suamimu  bertugas di daerah terpencil itu. Entah sampai kapan. Membangun istana cinta bersamanya.
Menjelang Akad Nikah Ayu
Di tengah-tengah euforia menjelang akad nikahmu, hati saya dihimpiti kelu. Tak lama lagi, kita akan berpisah. Secara jarak dan waktu, tembok pemisah itu semakin jelas membentang. Aku tidak tahu akan menemukan jiwa sepertimu dimana lagi. Kawanku berserakan, namun keikhlasan itu saya temukan seutuhnya di sosokmu. Aku  disisipi rasa takut, takut merindu. Karena ini bukan persoalan Maros-Pare yang bisa ditempuh dengan cepat dan mudahnya. Namun, aku selalu membesarkan hati sendiri. Perkembangan teknologi makin canggih dewasa ini. Kita bisa berkomunikasi via media sosial dan apapun itu bentuknya. Jiwamu akan selau hidup bersamaku, sahabat.
Rasa haru itu berubah bahagia dan syukur yang luar biasa, tatkala suara pangeranmu lantang menuntaskan  qabulnya dalam sekali tarikan nafas. Dia telah berjanji di hadapan Allah SWT, dengan miitsaqan gholiidhan ‘disaksikan para malaikat, untuk menjagamu. Mencintai dan memperlakukanmu sebaik-baiknya istri. Kelak, dia akan menjadi pintu kebaikan untukmu dan anak-anakmu. Maka, sudah seharusnya aku menghapus risau itu. Orang yang tepat, telah dipilihkan Allah untuk menemani hari-harimu. Orang yang sangat baik. Allah telah membuktikan janjinya, Ayu! Perempuan yang baik, hanya untuk Laki-laki yang baik.   Selamat berbahagia saudarariku. Semoga rumahmu kelak ibarat syurga, dikelilingi kasih sayang dan anak yang saleh salehah yang selalu mengangungkan asma Allah. Dan tentang persahabatan kita. Bukankah di jiwaku, bersemayam jiwamu. Begitupun sebaliknya.

0 komentar:

Posting Komentar