Sapaan hangat dan senyum sumringah mengawali perkenalan saya dengan Hasnia sekitar Bulan Januari. Salah satu reponden Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) Tahun 2012, di Desa Tenrigangkae, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros. Sekilas tidak ada yang menarik dari wanita paruh baya ini, sama saja seperti kebanyakan warga pedesaan yang kerap kutemui di lapangan. Namun, kebahagiaan serta rasa sukacitanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kusodorkan membuat langkah ini ingin duduk berlama-lama dengannya. Seperti itulah kebiasaan saya sebagai petugas lapangan, kebahagiaan tersendiri ketika mendapat sambutan yang tulus dari para responden.
Banyak
hal yang diceritakannya, sehingga membuat obrolan kami serasa seperti teman
lama yang telah bertahun-tahun tak bersua. Ketika kutanyai pekerjaan suaminya
seminggu terakhir, dengan antusias dia menjawab. Bertani adalah pekerjaan warisan
yang telah dikerjakan suaminya sejak dulu. Pun ketika musim kemarau tiba
sehingga sawah tak lagi produktif, suaminya kerap beralih menjadi buruh harian
untuk pengerjaan bangunan-bangunan perumahan. Tapi kok siang itu, dia memilih “ngerumpi” bersama Ibu-ibu lain di kolong
rumah tetangga?”Tungguka’ jemuran kering
bu, jauh i rumahku di belakang, “jawabnya penuh semangat. Rupanya terik
matahari tidak dapat menembus rumahnya yang dipenuhi pepohonan rimbun.
Perbincangan berlanjut, mulai dari keluarganya yang tidak mendapat panggilan
untuk pengisian E-KTP, sapi nya yang hilang dicuri orang, kebiasaannya
menunggui jemuran di rumah tetangga hingga kering, mengenai tetangga-tetangga yang diidolakannya,tetanga-tetangga
yang kadang membuatnya dengki, hingga
makanan-makanan favorit serta makanan yang dibenci suaminya.
Wanita
ringkih ini terlalu polos, sehingga saya pun berfikir dalam hati. Apakah saya
yang terlalu dalam mengorek informasi tentangnya, atau dasar dari dia nya
sendiri yang mudah percaya dengan orang
yang baru saja dikenal. Kasihan, jika nanti penipu-penipu berkedok ‘pendata’
menemuinya, seperti keluhan yang biasa disampaikan responden saya di desa-desa
lain. Tapi entahlah, lagi-lagi saya hanya mengidolakan wajah ceria dan tawa
kekanak-kanakan ibu ini.
Tawanya
sejenak terhenti, ketika kutanyai angota rumah tangga (ART) lain. Seorang ibu
lantas menangkis pertanyaan saya, “lamami
sudahna kawin, tapi belumpi ada anaknya bu,” celoteh si tetangga. Spontan saya
mengira, ibu ini akan sedih, berganti ekspresi, atau senyum kecut mungkin. Tapi
ternyata tidak. Lagi-lagi dengan tawa khas nya dia berkelakar, sembari meyakini kalau dirinya tidak akan mungkin memiliki
anak. “Toa ma kodong, tena mo kulle pianak”,lirihnya. Dan
tanya menjawab disertai ceritanya pun berlanjut hingga langit sedikit muram,
saya pamit dan berjanji akan datang tiga bulan kemudian lagi.
Sakernas
ini termasuk salah satu survei triwulanan di Badan Pusat Statistik. Data
mengenai angkatan kerja, jumlah pengangguran dan variable-variabel lain
mengenai itu tercover dalam survei ini. Dan untuk tahun ini, sampel yang dipakai dari tiap triwulan tidak berubah
(panel). Sehingga saya pun dengan senang hati siap mencacah dan berjumpa
kembali dengan wanita tersebut.
Dan
benar, Bulan April, kembali saya ditugaskan untuk mencacah blok di Desa
Tenrigangkae. Burhan, ada senyum kecil
ketika melihat nama responden ini. Sekelumit masalah saya sepertinya akan
terobati dengan tawa ndeso ibu ini,
gumam saya dalam hati. Dan di tempat yang sama, persis tiga bulan lalu di bawah kolong rumah tetangganya. Saya
mendekat, berniat hendak memberinya surprise
karena kehadiran kawan lamanya kembali. Tapi rupanya yang terjadi lain. Dia
menyambut saya datar. Jauh berbeda dengan tiga bulan lalu. Ada senyum ,tapi
senyum khas kekanak-kanakannya sudah hilang, seperti termakan dengan tulang pipinya yang semakin
menonjol keluar.
Gurat-gurat tua itu nampak jelas. Meski usianya tetap 45 tahun, padahal hanya berselang tiga bulan sejak perjumpaan pertama kami. Kondisi fisik dan psikisnya benar-benar berubah. Badannya yang dulu kurus, kini semakin kurus, dan kulit gosong ala petani membalut badannya yang kudugai sangatlah ringan. Dia benar-benar lemas dan terkesan tak bersemangat menunggui jemurannya.Oleh tetangganya yang lain, kupastikan bahwa dia benar-benar sakit, tapi tak jelas sakit yang ditanggungnya itu apa. Melihat pancaran matanya, kutangkap dia tak hanya sakit secara fisik, tapi ada beban lain yang ditanggungnya di balik raganya itu.
Gurat-gurat tua itu nampak jelas. Meski usianya tetap 45 tahun, padahal hanya berselang tiga bulan sejak perjumpaan pertama kami. Kondisi fisik dan psikisnya benar-benar berubah. Badannya yang dulu kurus, kini semakin kurus, dan kulit gosong ala petani membalut badannya yang kudugai sangatlah ringan. Dia benar-benar lemas dan terkesan tak bersemangat menunggui jemurannya.Oleh tetangganya yang lain, kupastikan bahwa dia benar-benar sakit, tapi tak jelas sakit yang ditanggungnya itu apa. Melihat pancaran matanya, kutangkap dia tak hanya sakit secara fisik, tapi ada beban lain yang ditanggungnya di balik raganya itu.
Tak ada umpan balik dari pertanyaan-pertanyaan yang kuberikan,
jadi saya hanya mencocokkan data triwulan lalu dengan kondisi keluarganya sekarang.
Tidak ada ibu cerewet, yang antusias menceritakan suaminya ke sawah sejak
pagi-pagi buta dan kembali hingga matahari telah memakan hampir semua
tenaganya. Tidak ada ibu cerewet, yang menceritakan suka-dukanya hidup
bertetangga di pedesaan. Tidak ada ibu cerewet, yang bercerita nikmatnya hidup
berdua dengan kekasih hatinya selama belasan tahun lamanya. Sedikit kecewa dan
tetap memilih duduk berlama-lama di sampingnya, saya tetap berusaha memancing obrolan-obrolan jenaka
hingga tawa khas itu bisa saya nikmati lagi. Tapi rupanya dia benar-benar sakit
dan polos. Polos karena saat sakit pun,
dia memilih tidak berpura-pura sehat dan tertawa seperti sediakala demi
meyenangkan kawan lamanya. Tapi kami
tetap akrab dalam bahasa tubuh. Dan saya yakini, dia sebenarnya sangat ingin
bercerita banyak hal, termasuk mem-ba-bi-bu saya dengan pertanyaan-pertanyaan,
‘kenapa masih sendiri?’.
Triwulan
berikutnya, oleh Kepala Seksi Sosial BPS Maros, saya tak lagi ditugaskan nyacah
SAKERNAS di wilayah tersebut. Sehingga tanda tanya dan kerinduan dengan wanita itu menghilang bersamaan silih bergantinya
dokumen survei lain. Baru pada triwulan
IV (Bulan November ), kembali saya ditugaskan di Desa Tenrigangkae. Dan wajah wanita itu kembali bermain-main di sepanjang
langkah saya.
Setelah
mendatangi lima responden, saya mencari wanita itu di bawah kolong rumah tempat
biasa dia menghabiskan waktu siang menjaga-jaga jangan sampai hujan membasahi
jemurannya. Tapi tak ada siapa-siapa disana. Saya putuskan mendatangi rumahnya
langsung, dan rupanya pepohonan rimbun yang biasa menghiasi jalan setapak ke
rumahnya, kini sudah di pangkas. Tak lagi terkesan di hutan seperti yang diceritakannya.
Dihadapan
saya rumah bercat biru biasa saja, seperti kebanyakan rumah di desa. Ukurannya
sekitar 5x9 m. Perlahan-lahan saya menaiki anak tangga yang bagi saya kayunya
tidaklah terlalu kuat. Seorang wanita tua keluar dengan kondisi hamil besar,
dan langsung menyapa hangat dengan aksen bugisnya. Sungguh saya tidak
mengenalinya, andai saja dia tak mengeluarkan tawa khas nya itu. Dalam hati
saya menyahut, Subhanallah!!Maha Suci Allah, engkau benar-benar Maha Besar.
Saya hampir tak berniat sedikitpun membayangkan wanita ini akan hamil di
usianya yang lima tahun lagi setengah abad. Dia mengulurkan tangannya seperti
hendak memeluk kawan lama nya.Akan tetapi saya benar-benar speechless. Mematung. Hingga dia menarik kembali tangannya yang
telah mendarat di kedua bahu saya. “Doakanka’
nahh, sakitka’ ini nakuhamil,”lirihnya. Tapi tawa khas itu tidak bisa berbohong,
dia sangat berbahagia menyambut kehadiran buah hati yang belasan tahun diharapnya.
Wanita cerewet itu kembali, dia menceritakan janin bayinya yang telah memasuki bulan ke 8, mengenai kehamilannya yang baru diketahui ketika usia janin sudah tiga bulan. Dia menceritakan, sakitnya yang membuat seluruh anggota badan hingga mulutnya tak bisa berkata-kata banyak. Tentang kepasrahannya bahwa seumur hidup dia tidak akan dikarunia keturunan. Tentang kesediaannya jika suaminya menginginkan wanita lain untuk memperoleh penerus. Dia benar-benar pasrah, dan menikmati hidup dengan sewajarnya. Hingga akhirnya Sang Kuasa berkehendak lain. Di usia senjanya, barulah dia akan diberi kesempatan merasakan nikmatnya menjadi Ibu. Wawancara selesai, dan dia berbisik .“Millau doa’ ka nahh,salama’ ka’ sama anakku,”pinta nya. Hmmmm..Nikmatnya mencacah..(She)
Wanita cerewet itu kembali, dia menceritakan janin bayinya yang telah memasuki bulan ke 8, mengenai kehamilannya yang baru diketahui ketika usia janin sudah tiga bulan. Dia menceritakan, sakitnya yang membuat seluruh anggota badan hingga mulutnya tak bisa berkata-kata banyak. Tentang kepasrahannya bahwa seumur hidup dia tidak akan dikarunia keturunan. Tentang kesediaannya jika suaminya menginginkan wanita lain untuk memperoleh penerus. Dia benar-benar pasrah, dan menikmati hidup dengan sewajarnya. Hingga akhirnya Sang Kuasa berkehendak lain. Di usia senjanya, barulah dia akan diberi kesempatan merasakan nikmatnya menjadi Ibu. Wawancara selesai, dan dia berbisik .“Millau doa’ ka nahh,salama’ ka’ sama anakku,”pinta nya. Hmmmm..Nikmatnya mencacah..(She)
0 komentar:
Posting Komentar