RSS

Rabu, 12 Desember 2012

SAKERNAS dan Ibu Hamil


           Sapaan  hangat dan senyum sumringah mengawali perkenalan saya dengan Hasnia sekitar Bulan Januari. Salah satu reponden  Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) Tahun 2012, di Desa Tenrigangkae, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros. Sekilas tidak ada yang menarik dari wanita paruh baya ini, sama saja seperti kebanyakan warga pedesaan yang kerap kutemui di lapangan. Namun, kebahagiaan serta rasa sukacitanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kusodorkan membuat langkah ini ingin duduk berlama-lama dengannya. Seperti itulah kebiasaan saya sebagai petugas lapangan, kebahagiaan tersendiri ketika mendapat sambutan yang tulus dari para responden.
Banyak hal yang diceritakannya, sehingga membuat obrolan kami serasa seperti teman lama yang telah bertahun-tahun tak bersua. Ketika kutanyai pekerjaan suaminya seminggu terakhir, dengan antusias dia menjawab. Bertani adalah pekerjaan warisan yang telah dikerjakan suaminya sejak dulu. Pun ketika musim kemarau tiba sehingga sawah tak lagi produktif, suaminya kerap beralih menjadi buruh harian untuk pengerjaan bangunan-bangunan perumahan. Tapi kok siang itu, dia memilih “ngerumpi” bersama Ibu-ibu lain di kolong rumah tetangga?”Tungguka’ jemuran kering bu, jauh i rumahku di belakang, “jawabnya penuh semangat. Rupanya terik matahari tidak dapat menembus rumahnya yang dipenuhi pepohonan rimbun. Perbincangan berlanjut, mulai dari keluarganya yang tidak mendapat panggilan untuk pengisian E-KTP, sapi nya yang hilang dicuri orang, kebiasaannya menunggui jemuran di rumah tetangga hingga kering,  mengenai tetangga-tetangga yang diidolakannya,tetanga-tetangga yang kadang  membuatnya dengki, hingga makanan-makanan  favorit  serta makanan yang dibenci suaminya.
Wanita ringkih ini terlalu polos, sehingga saya pun berfikir dalam hati. Apakah saya yang terlalu dalam mengorek informasi tentangnya, atau dasar dari dia nya sendiri yang  mudah percaya dengan orang yang baru saja dikenal. Kasihan, jika nanti penipu-penipu berkedok ‘pendata’ menemuinya, seperti keluhan yang biasa disampaikan responden saya di desa-desa lain. Tapi entahlah, lagi-lagi saya hanya mengidolakan wajah ceria dan tawa kekanak-kanakan ibu ini.
Tawanya sejenak terhenti, ketika kutanyai angota rumah tangga (ART) lain. Seorang ibu lantas menangkis pertanyaan saya, “lamami sudahna kawin, tapi belumpi ada anaknya bu,” celoteh si tetangga. Spontan saya mengira, ibu ini akan sedih, berganti ekspresi, atau senyum kecut mungkin. Tapi ternyata tidak. Lagi-lagi dengan tawa khas nya dia berkelakar, sembari meyakini  kalau dirinya tidak akan mungkin memiliki anak. “Toa ma kodong, tena mo kulle pianak”,lirihnya. Dan tanya menjawab disertai ceritanya pun berlanjut hingga langit sedikit muram, saya pamit dan berjanji akan datang tiga bulan kemudian lagi.
Sakernas ini termasuk salah satu survei triwulanan di Badan Pusat Statistik. Data mengenai angkatan kerja, jumlah pengangguran dan variable-variabel lain mengenai itu tercover  dalam survei ini. Dan untuk tahun ini,  sampel yang dipakai dari tiap triwulan tidak berubah (panel). Sehingga saya pun dengan senang hati siap mencacah dan berjumpa kembali dengan wanita tersebut.
Dan benar, Bulan April, kembali saya ditugaskan untuk mencacah blok di Desa Tenrigangkae. Burhan, ada senyum kecil ketika melihat nama responden ini. Sekelumit masalah saya sepertinya akan terobati dengan tawa ndeso ibu ini, gumam saya dalam hati. Dan di tempat yang sama, persis tiga bulan lalu  di bawah kolong rumah tetangganya. Saya mendekat, berniat hendak memberinya surprise karena kehadiran kawan lamanya kembali. Tapi rupanya yang terjadi lain. Dia menyambut saya datar. Jauh berbeda dengan tiga bulan lalu. Ada senyum ,tapi senyum khas kekanak-kanakannya sudah hilang, seperti  termakan dengan tulang pipinya yang semakin menonjol keluar. 
Gurat-gurat tua itu nampak jelas. Meski usianya tetap 45 tahun, padahal hanya berselang tiga bulan sejak perjumpaan pertama kami. Kondisi fisik dan psikisnya benar-benar berubah. Badannya yang dulu kurus, kini semakin kurus, dan kulit gosong ala petani membalut badannya yang kudugai sangatlah ringan. Dia benar-benar lemas dan terkesan tak bersemangat menunggui jemurannya.Oleh tetangganya yang lain, kupastikan bahwa dia benar-benar sakit, tapi tak jelas sakit yang ditanggungnya itu apa. Melihat pancaran matanya, kutangkap dia tak hanya sakit secara fisik, tapi ada beban lain yang ditanggungnya di balik raganya itu.
 Tak ada umpan balik  dari pertanyaan-pertanyaan yang kuberikan, jadi saya hanya mencocokkan data triwulan lalu dengan kondisi keluarganya sekarang. Tidak ada ibu cerewet, yang antusias menceritakan suaminya ke sawah sejak pagi-pagi buta dan kembali hingga matahari telah memakan hampir semua tenaganya. Tidak ada ibu cerewet, yang menceritakan suka-dukanya hidup bertetangga di pedesaan. Tidak ada ibu cerewet, yang bercerita nikmatnya hidup berdua dengan kekasih hatinya selama belasan tahun lamanya. Sedikit kecewa dan tetap memilih duduk berlama-lama di sampingnya, saya tetap  berusaha memancing obrolan-obrolan jenaka hingga tawa khas itu bisa saya nikmati lagi. Tapi rupanya dia benar-benar sakit dan polos.  Polos karena saat sakit pun, dia memilih tidak berpura-pura sehat dan tertawa seperti sediakala demi meyenangkan kawan lamanya.  Tapi kami tetap akrab dalam bahasa tubuh. Dan saya yakini, dia sebenarnya sangat ingin bercerita banyak hal, termasuk mem-ba-bi-bu saya dengan pertanyaan-pertanyaan, ‘kenapa masih sendiri?’.
Triwulan berikutnya, oleh Kepala Seksi Sosial BPS Maros, saya tak lagi ditugaskan nyacah SAKERNAS di wilayah tersebut. Sehingga tanda tanya dan kerinduan dengan wanita  itu menghilang bersamaan silih bergantinya dokumen survei  lain. Baru pada triwulan IV (Bulan November ), kembali saya ditugaskan di Desa Tenrigangkae. Dan wajah  wanita itu kembali bermain-main di sepanjang langkah saya.
Setelah mendatangi lima responden, saya mencari wanita itu di bawah kolong rumah tempat biasa dia menghabiskan waktu siang menjaga-jaga jangan sampai hujan membasahi jemurannya. Tapi tak ada siapa-siapa disana. Saya putuskan mendatangi rumahnya langsung, dan rupanya pepohonan rimbun yang biasa menghiasi jalan setapak ke rumahnya, kini sudah di pangkas. Tak lagi terkesan  di hutan seperti yang diceritakannya.
Dihadapan saya rumah bercat biru biasa saja, seperti kebanyakan rumah di desa. Ukurannya sekitar 5x9 m. Perlahan-lahan saya menaiki anak tangga yang bagi saya kayunya tidaklah terlalu kuat. Seorang wanita tua keluar dengan kondisi hamil besar, dan langsung menyapa hangat dengan aksen bugisnya. Sungguh saya tidak mengenalinya, andai saja dia tak mengeluarkan tawa khas nya itu. Dalam hati saya menyahut, Subhanallah!!Maha Suci Allah, engkau benar-benar Maha Besar. Saya hampir tak berniat sedikitpun membayangkan wanita ini akan hamil di usianya yang lima tahun lagi setengah abad. Dia mengulurkan tangannya seperti hendak memeluk kawan lama nya.Akan tetapi saya benar-benar speechless. Mematung. Hingga dia menarik kembali tangannya yang telah mendarat di kedua bahu saya. “Doakanka’ nahh, sakitka’ ini nakuhamil,”lirihnya. Tapi tawa khas itu tidak bisa berbohong, dia sangat berbahagia menyambut kehadiran buah hati yang  belasan tahun diharapnya. 
Wanita cerewet itu kembali, dia menceritakan janin bayinya yang telah memasuki bulan ke 8, mengenai kehamilannya yang baru diketahui ketika usia janin sudah tiga bulan. Dia menceritakan, sakitnya yang membuat seluruh anggota badan hingga mulutnya tak bisa berkata-kata banyak. Tentang kepasrahannya bahwa seumur hidup dia tidak akan dikarunia keturunan. Tentang kesediaannya jika suaminya menginginkan wanita lain untuk memperoleh penerus. Dia benar-benar pasrah, dan menikmati hidup dengan sewajarnya. Hingga akhirnya Sang Kuasa berkehendak lain. Di usia senjanya, barulah dia akan diberi kesempatan merasakan nikmatnya menjadi  Ibu. Wawancara selesai, dan dia berbisik .“Millau doa’ ka nahh,salama’ ka’ sama anakku,”pinta nya. Hmmmm..Nikmatnya mencacah..(She)

0 komentar:

Posting Komentar