RSS

Jumat, 18 Januari 2013

Kerja Keras Selalu Juara !




            Siang itu langit lagi cerah-cerah nya, seolah ikut mewakili hati seorang mahasiswi. Sang Profesor baru saja melekatkan gelar Sarjana Pertanian di ujung namanya.  Di luar ruangan, beberapa kawanan nampak sibuk menyalami sarjana baru, ber-tos ria, cipika cipiki, dan berpesta snack, seolah perayaan kecil telah lepas dari belenggu akademik yang mengikat lima tahun lamanya. Ya, beberapa jam diriku larut dalam sukacita pasca Yudisium. Namun, beberapa jam kemudian tatkala malam menyapa. Saya tertegun. Berfikir, akan menjadi apa selepas ini?
            Saya harus berpenghasilan. Selepas yudisium, haram hukumnya meminta se-sen pun uang Ayah lagi. Ini sudah janji pada diri sendiri, melihat perjuangan beliau menyekolahkanku. Mulai kini, tekadku telah bulat mencari pekerjaan. Hidup ini mesti diperjuangkan. Tak cukup membantu Ayah menjadi anak salehah. Hidup mandiri tanpa subsidi siapapun, menantang di depan mata. Toh Ayah hanyalah karyawan swasta biasa yang oleh picingan mata pimpinannya, bisa berhenti kerja kapan pun. Malam itu, surat lamaran kerja pertama dibuat.
 Karena lokasi rumah Tante yang strategis, saya hanya butuh lima menit saja berjalan kaki, membawa surat lamaran di sebuah perusahaan  media cetak ternama di Makassar. Kebetulan perusahaan ini tengah membuka rekrutmen untuk SDM bagian iklan. Bermodal rasa percaya diri dan keinginan yang menggebu, saya mampu meyakinkan Manajer HRD dan beberapa petinggi perusahaan lain untuk bisa menjadi bagian pada perusahaannya. Tidak sia-sia ber-organisatoris di kampus, karena dengan tabungan pengalaman, toh kita tidak canggung lagi ketika di interview. “Kamu komunikatif, ramah, dan percaya diri, tapi kurang good looking. Padahal itu modal kuat menjadi seorang marketing, tolong kamu perhatikan itu, “ nilai  Manager iklan, setelah menyampaikan perihal penerimaanku.
Sejak itu, saya mulai merombak total semua gaya berpakaian. Memadu-padankan celana kain dan kemeja bekas, berkawan dengan high heels .  Semua harus menarik dan modis, dengan meminimalkan biaya-biaya kecantikan. Oleh IrmaMuzos, teman kuliah, saya kemudian minta diajarkan ber make up minimalis untuk menunjang penampilan.
  Di media, iklan adalah jantung kehidupan mereka. Jika orang-orang di bagian ini tidak agresif dan inovatif dalam membisniskan iklan, maka media akan mati. Pundi-pundi rupiah mereka mengalir dari pendapatan iklan. Seperti itulah doktrin yang kutemui disana. Harga iklan di media cetak pun fantastis. Ukuran satu halaman black white bisa mencapai puluhan juta, terlebih full colour. Hal yang baru kuketahui selama ini. Memanah  pemasang iklan sebanyak-banyaknya adalah ambisi semua marketing iklan. Karena fee yang mereka dapatkan pun tergantung dari perolehan pemasangan iklan. Awalnya, saya berfikir ini pekerjaan gampang untuk mengumpulkan duit sebanyak-banyaknya. Toh apa susahnya meyakinkan semua pengusaha dan pemilik modal, untuk menjadikan kami sebagai media promosi yang tepat. Terlebih media ini sudah memiliki nama besar di Kawasan Timur Indonesia.
Hari-hari berjalan begitu keras. Makin hari saya terlatih di lapangan. Memasuki gedung-gedung perkantoran, menjelajahi pusat-pusat pertokoan, menghadap owner-owner restoran, lengkap dengan kepercayaan diri menjelaskan  kelebihan beriklan di media kami . Ketika ada kain merah yang menutup sebuah billboard besar, saya melangkah tegap menemui pemiliknya. Toko baru segera dilaunching, dan biasanya mereka memasang iklan untuk mempromosikannya. Bak sales-sales  yang menawarkan mati-matian keunggulan produknya, seperti itulah diriku. Tak peduli, orang mau berpendapat apa. Kerja keras sudah jadi misi kuat. Saya butuh duit, ingin membeli buku, jam tangan mewah, berhasrat memiliki t- shirt atau jeans bermerk ternama, ingin gaya-gayaan, dan ingin banyak. Orang tua, mereka beranjak tua, sudah saatnya saya mengambil alih estafet darinya, sebagai pencari nafkah. Skema itu yang terus menari-nari di kepalaku. Meski terasa sangat sulit.
Perlahan saya sadar, tak mudah rupanya mencari uang sendiri. Meskipun dengan perjuangan yang luar biasa. Saya sering iba melihat tukang becak, sehari-hari  berkawan dengan matahari. Kemudian mendapat hasil yang tak seberapa. Tak jauh bedalah dengan saya saat ini. Tiap hari menebar asa, mencoba peruntungan dari pintu ke pintu, dan hasilnya lebih sering nihil.   Semua relasi ternyata sudah punya contact tersendiri di kantor. Saya mencium aroma persaingan kerja yang tidak sehat, sikut-menyikut area iklan, negosiasi di atas negosiasi.  Rupanya hukum rimba berlaku di sini, yang kuat semakin kuat, dan yang lemah (pendatang) semakin dilemahkan. Misi Manajer dengan penambahan pasukan tim iklan  tidak sesuai dengan kenyataannya, beberapa mendominasi. Seorang teman baik di kantor, Dian,  yang sering membesarkan hatiku dan mengajarkan  teknik bernego yang  baik.  Ini karena dia salah satu penyumbang iklan terbanyak di media ini, relasinya banyak,  tutur katanya enak didengar, dan dia memulai semuanya dari nol. Ingin rasanya seperti dia.
            Di tengah  panggung persaingan yang semakin panas, toh saya tidak patah semangat untuk masuk lingkaran persaingan. Rupanya , kendaraan operasional tak bisa lagi diharap. Jadi setelah berdebat dan memaksakan kehendak sama Adik, akhirnya disepakati hari Rabu, Jumat, dan Minggu saya bisa meminjam motor Adik. Saat  dia tidak kuliah. Jadilah saya benar-benar memanfaatkan waktu itu. Mencari bagian pertokoan yang belum terjamah media. Seperti pagi itu, sepanjang Tamalanrea nyaris kusinggahi tiap sudutnya. Daerah ini memang lagi pesat-pesatnya pembangunan. Maka, toko-toko ber-potensi pun tak luput dari surat penawaran iklanku.
Banyak hal, orang cenderung memilih  pekerjaan yang sudah jelas pendapatannya. Di tempatku, kami hanya digaji di tiga bulan pertama. Itupun sebatas pengganti uang BBM saja. Selebihnya tergantung dari perolehan iklan yang masuk. Tapi saya tidaklah gentar menghadapi ini. Untungnya, perusahaan menjamin makan siang. Transportasi cukup berjalan kaki saja ke rumah.  Anda tahu !Kedekatan jarak antara kantor dan tempat menetapku  inilah, mendasari saya melamar kerja  di perusahaan ini. Tidak butuh banyak pengeluaran bukan! Dan ternyata,  kerja keras dan kegigihan memang selalu juara. Memasuki bulan keempat, setelah sebelum-sebelumnya hanya berhasil menaklukkan iklan-iklan kecil saja. Saat itu, saya berhasil mendapat iklan besar di salah satu universitas favorit di kota ini. Dengan  mendapat  iklan seharga tujuh belas juta, saya memperoleh fee yang lumayan dari iklan itu. Senang, bisa memberikan barang kesukaan Bapak Ibu. Dan beberapa sanak keluarga juga dapat cipratan dari rezky ku ini.
Tujuh bulan tak terasa.  Meski hanya digaji di tiga bulan pertama, toh itu cukup menjadi cambuk kuat untukku terus bekerja dan mulai mengerti susahnya mencari duit. Oleh seorang senior di satu organisasi di kampus. Saya dipertemukan dengan seorang  konsultan hukum  seorang anggota DPRD Provinsi Sul- Sel. Begitulah, hubungan baik selalu mencari jalan yang baik pula. Beliau tengah mencari seorang sekretaris pribadi untuk Sang Anggota Dewan. Ini menarik, bukankah ketika kita bergaul dengan orang hebat, kelak kita pun akan mengikutinya, mengikuti jejak keberhasilannya. Surat lamaran terkirim ke E-mail Sang Politikus. Keesokan harinya saya dipanggil menghadap beliau. Matanya bulat penuh, bibirnya tipis, senyumnya renyah  menawan, dan kulit putih bersih terpancar dari jari-jemarinya yang tengah menari di atas laptop. Dia lalu memandangku sarkastik. Seperti menahan keanehan, dan  menatap mataku yang malah terkagum-kagum akan kecantikannya. “Sebentar malam kamu ke rumah yah! “ Tegasnya sembari membereskan laptopnya. Kemudian berlalu, dan meninggalkan selembar kartu nama. Beberapa menit lagi, beliau rapat . Hal yang lazim di kalangan politikus.
Hujan membungkus kota Makassar dan sesekali kilat-kilat terukir keras di gelapnya langit. Saya risau, sudah jam tujuh malam, hujan belumlah mereda. Saya harus berada di rumah Ibu itu sekarang. “Kamu harus merebut kepercayaan Ibu itu,Nak! Ini kesempatan emasmu untuk berkawan dengan orang-orang besar, “ pesan Ayah di ujung telepon ketika kukabari rencanaku berkunjung ke rumah anggota DPRD.
Berbalut jas hujan, saya memberanikan diri menembus malam ke rumah Sang Anggota Dewan, mencari alamat yang tertera pada kartu namanya. Dia ternyata tengah tidur, ucap salah seorang pekerjanya. Tapi tidak apalah, saya menunggu sampai Ibu cantik itu bangun. Sejam berlalu, dan dia keluar dengan mata sembab.”Maaf ya dek, saya ketiduran abis rapat panjang tadi siang,” sergah mu ketika melihatku.
Penampilan itu adalah hal pertama yang membungkus image kita. Tidak perlu bermewahan, namun mesti elegan. “Orang akan respect, ketika kita tampil elegan dan sopan,” ajarmu. Tak lama,  kamu melangkah ke belakang mengambil sesuatu di dalam kamar. Segopok kain, baju batik, setelan blazer, dan tas elit kamu sodorkan.  “Ambillah!! Buatlah dirimu semenarik mungkin. Di rak  sepatu, ambil saja sepatu yang sesuai kakimu, dan tolong bantu saya bekerja dengan  baik,” harapmu. Tak sia-sia rasanya, saya mempertaruhkan malam dingin ini menemuimu Ibu cantik. Tak lupa, kamu menyarankanku untuk rajin membaca bertita-berita mengenai iklim perpolitikan di Sul-Sel, serta  mencaritahu ketertinggalan dan kemajuan dari daerah pilihan mu. Enrekang , Sidrap, dan Pinrang.
            Ritme kerjaku berubah seketika. Jika dulu, media menuntut kita berpenampilan heboh dan  trendy di depan relasi. Di Lingkungan politik ini, saya dituntut bergaya Ibu-ibu modern.  Saban hari, wajib memakai  jaz, sepatu berhak mesti tertutup rapat, segala gerak-gerik mesti dijaga, cara senyum dan bertatap muka dengan para politikus. Dan berkantor di ruanganmu. Saya benar-benar menjadi seorang sekretaris Anggota Dewan. Mengatur seluruh jadwal pertemuanmu,  menjadi notulen pribadi  ketika rapat di komisi mu. Tak pelak, wajah-wajah gagah  dan terhormat yang kerap berwara-wiri di koran harian, sering kujumpai di tempat ini.
            Mereka kadang berdebat, memberi saran, mempertahankan pendapat, saling melempar pasal, bermufakat, dan juga ada duduk tertidur di tengah rapat. Yang terakhir ini menarik. Saya sontak  berpikir, apakah lansia ini bosan, sakit, tidak mengerti apa yang dibicarakan, atau apa!Orang yang mestinya istirahat , menjaga kesehatan, menikmati masa senja bersama cucu, kok malah jadi  kepanjangan tangan masyarakat? Edan untuk beliau, dan lebih edan pada masyarakat yang memilihnya.
            Selama dua bulan itu, saya benar-benar menjadi bagian dari Sang Anggota Dewan. Tak jarang, dia mengajakku nginap dan membantu membereskan berkas-berkas yang tak penting di kamarnya, menjadi pendengar saat dia menceritakan kenakalan anaknya, dan tentang waktunya yang jarang berkumpul bersama keluarga. Tak ada lagi batasan sekretaris pribadi dan asisten pribadi. Semua melebur. Ketika saya keseringan disuruh hal sepele pun,  saya anggap itu hanyalah  proses belajar. Kelak, saya  akan menjadi orang hebat sepertinya! Gumamku dalam hati. Kami seperti teman baik. Pernah dalam perjalanan pulang, ketika saya numpang di mobilnya. Dia menitip beberapa lembar uang. Bukan lagi untuk saya, tapi untuk Mama di kampung. Katanya uang pembeli ayam. Haha, ada-ada saja Ibu ini.
Soal politik, beliau terbilang cerdas. Retorika politiknya hebat, cara bertuturnya pun tegas dan sistematis,  disisipi dengan senyum manisnya.  Saya terkagum-kagum dengan wanita berusia 40 tahun ini. Dan juga,  dia kuat mencari tahu fakta-fakta di  lapangan. Beberapa jabatan penting  lain diembannya, entah di organisasi partainya, maupun organisasi sosial lainnya, semua mengenai pembelaannya pada kaum perempuan.  Saya sering diajaknya bertemu konstituennya dibeberapa daerah kala reses. Selain mengecek pembangunan yang sedang berlangsung, menyerap aspirasi masyarakat, dia kerap memimpin rapat informal dengan para konstituen dan timnya. Mengatur eskalasi politiknya, menyusun upaya apa saja untuk menjaga citra baiknya di media, dan apalah kegiatan lain yang bisa membuat namanya membumbung tinggi, Begitulah politik, tak cukup dengan hanya berniat baik saja, segala hal baik mesti diwartakan, diperlihatkan kepada khalayak ramai.
            Selama dua bulan , saya belajar pada Ibu ini. Belajar memegang kepercayaannya, belajar dari cara memimpinnya. Dan tanpa sepengetahuannya, saya diam-diam mengikuti seleksi penerimaan CPNS di Badan Pusat Statistik.  Turut meramaikan musim CPNS ujung tahun itu. Bukan karena saya tak betah bekerja dengannya, namun lebih memikirkan harapan panjang di masa mendatang. Tak ada ambisi menggebu akan lulus untuk semua tahap tes. Saya minim pengetahuan mengenai dunia PNS. Terlebih latar belakang keluarga yang jauh dari status ini. Jadilah saya  menghadapi ujian dengan belajar seadanya, mereview buku-buku terkait, dan berusaha meyakinkan kala tes wawancara. Tuhan pun mengamini. Saya dinyatakan lulus menjadi abdi negara melalui instansi BPS. Tanpa nepotisme, dan tanpa biaya pemulus se sen pun. Jika beberapa kawan kerap mengeneralkan penerimaan PNS yang identik dengan suap-menyuap, melalui tulisan ini insya allah argument ini terbantahkan dengan sendirinya. Kerja keras dan kegigihan memang selalu juara. Terimakasih untuk fase –fase yang telah alami membentuk saya. 
 (17 Januari 2013)


                       


                       

0 komentar:

Posting Komentar