Siang itu langit
lagi cerah-cerah nya, seolah ikut mewakili hati seorang mahasiswi. Sang
Profesor baru saja melekatkan gelar Sarjana Pertanian di ujung namanya. Di luar ruangan, beberapa kawanan nampak sibuk
menyalami sarjana baru, ber-tos ria, cipika
cipiki, dan berpesta snack,
seolah perayaan kecil telah lepas dari belenggu akademik yang mengikat lima
tahun lamanya. Ya, beberapa jam diriku larut dalam sukacita pasca Yudisium.
Namun, beberapa jam kemudian tatkala malam menyapa. Saya tertegun. Berfikir,
akan menjadi apa selepas ini?
Saya harus
berpenghasilan. Selepas yudisium, haram hukumnya meminta se-sen pun uang Ayah
lagi. Ini sudah janji pada diri sendiri, melihat perjuangan beliau
menyekolahkanku. Mulai kini, tekadku telah bulat mencari pekerjaan. Hidup ini
mesti diperjuangkan. Tak cukup membantu Ayah menjadi anak salehah. Hidup
mandiri tanpa subsidi siapapun, menantang di depan mata. Toh Ayah hanyalah
karyawan swasta biasa yang oleh picingan mata pimpinannya, bisa berhenti kerja
kapan pun. Malam itu, surat lamaran kerja pertama dibuat.
Karena
lokasi rumah Tante yang strategis, saya hanya butuh lima menit saja berjalan
kaki, membawa surat lamaran di sebuah perusahaan media cetak ternama di Makassar. Kebetulan
perusahaan ini tengah membuka rekrutmen untuk SDM bagian iklan. Bermodal rasa
percaya diri dan keinginan yang menggebu, saya mampu meyakinkan Manajer HRD dan
beberapa petinggi perusahaan lain untuk bisa menjadi bagian pada perusahaannya.
Tidak sia-sia ber-organisatoris di kampus, karena dengan tabungan pengalaman,
toh kita tidak canggung lagi ketika di interview.
“Kamu komunikatif, ramah, dan percaya diri, tapi kurang good looking. Padahal itu modal kuat menjadi seorang marketing, tolong kamu perhatikan itu, “
nilai Manager iklan, setelah
menyampaikan perihal penerimaanku.
Sejak itu, saya mulai merombak total semua
gaya berpakaian. Memadu-padankan celana kain dan kemeja bekas, berkawan dengan high heels . Semua harus menarik dan modis, dengan
meminimalkan biaya-biaya kecantikan. Oleh IrmaMuzos, teman kuliah, saya
kemudian minta diajarkan ber make up minimalis untuk menunjang penampilan.
Di
media, iklan adalah jantung kehidupan mereka. Jika orang-orang di bagian ini
tidak agresif dan inovatif dalam membisniskan iklan, maka media akan mati. Pundi-pundi
rupiah mereka mengalir dari pendapatan iklan. Seperti itulah doktrin yang
kutemui disana. Harga iklan di media cetak pun fantastis. Ukuran satu halaman
black white bisa mencapai puluhan juta, terlebih full colour. Hal yang baru
kuketahui selama ini. Memanah pemasang
iklan sebanyak-banyaknya adalah ambisi semua marketing iklan. Karena fee yang
mereka dapatkan pun tergantung dari perolehan pemasangan iklan. Awalnya, saya
berfikir ini pekerjaan gampang untuk mengumpulkan duit sebanyak-banyaknya. Toh
apa susahnya meyakinkan semua pengusaha dan pemilik modal, untuk menjadikan
kami sebagai media promosi yang tepat. Terlebih media ini sudah memiliki nama
besar di Kawasan Timur Indonesia.
Hari-hari berjalan begitu keras. Makin hari
saya terlatih di lapangan. Memasuki gedung-gedung perkantoran, menjelajahi
pusat-pusat pertokoan, menghadap owner-owner restoran, lengkap dengan kepercayaan
diri menjelaskan kelebihan beriklan di
media kami . Ketika ada kain merah yang menutup sebuah billboard besar, saya
melangkah tegap menemui pemiliknya. Toko baru segera dilaunching, dan biasanya
mereka memasang iklan untuk mempromosikannya. Bak sales-sales yang menawarkan mati-matian keunggulan
produknya, seperti itulah diriku. Tak peduli, orang mau berpendapat apa. Kerja
keras sudah jadi misi kuat. Saya butuh duit, ingin membeli buku, jam tangan
mewah, berhasrat memiliki t- shirt atau jeans bermerk ternama, ingin
gaya-gayaan, dan ingin banyak. Orang tua, mereka beranjak tua, sudah saatnya
saya mengambil alih estafet darinya, sebagai pencari nafkah. Skema itu yang
terus menari-nari di kepalaku. Meski terasa sangat sulit.
Perlahan saya sadar, tak mudah rupanya
mencari uang sendiri. Meskipun dengan perjuangan yang luar biasa. Saya sering
iba melihat tukang becak, sehari-hari
berkawan dengan matahari. Kemudian mendapat hasil yang tak seberapa. Tak
jauh bedalah dengan saya saat ini. Tiap hari menebar asa, mencoba peruntungan
dari pintu ke pintu, dan hasilnya lebih sering nihil. Semua
relasi ternyata sudah punya contact tersendiri di kantor. Saya mencium aroma
persaingan kerja yang tidak sehat, sikut-menyikut area iklan, negosiasi di atas
negosiasi. Rupanya hukum rimba berlaku
di sini, yang kuat semakin kuat, dan yang lemah (pendatang) semakin dilemahkan.
Misi Manajer dengan penambahan pasukan tim iklan tidak sesuai dengan kenyataannya, beberapa
mendominasi. Seorang teman baik di kantor, Dian, yang sering membesarkan hatiku dan
mengajarkan teknik bernego yang baik.
Ini karena dia salah satu penyumbang iklan terbanyak di media ini,
relasinya banyak, tutur katanya enak
didengar, dan dia memulai semuanya dari nol. Ingin rasanya seperti dia.
Di tengah panggung persaingan yang semakin panas, toh
saya tidak patah semangat untuk masuk lingkaran persaingan. Rupanya , kendaraan
operasional tak bisa lagi diharap. Jadi setelah berdebat dan memaksakan
kehendak sama Adik, akhirnya disepakati hari Rabu, Jumat, dan Minggu saya bisa
meminjam motor Adik. Saat dia tidak
kuliah. Jadilah saya benar-benar memanfaatkan waktu itu. Mencari bagian pertokoan
yang belum terjamah media. Seperti pagi itu, sepanjang Tamalanrea nyaris
kusinggahi tiap sudutnya. Daerah ini memang lagi pesat-pesatnya pembangunan.
Maka, toko-toko ber-potensi pun tak luput dari surat penawaran iklanku.
Banyak hal, orang cenderung memilih pekerjaan yang sudah jelas pendapatannya. Di
tempatku, kami hanya digaji di tiga bulan pertama. Itupun sebatas pengganti uang
BBM saja. Selebihnya tergantung dari perolehan iklan yang masuk. Tapi saya
tidaklah gentar menghadapi ini. Untungnya, perusahaan menjamin makan siang.
Transportasi cukup berjalan kaki saja ke rumah. Anda tahu !Kedekatan jarak antara kantor dan tempat
menetapku inilah, mendasari saya melamar
kerja di perusahaan ini. Tidak butuh
banyak pengeluaran bukan! Dan ternyata,
kerja keras dan kegigihan memang selalu juara. Memasuki bulan keempat, setelah
sebelum-sebelumnya hanya berhasil menaklukkan iklan-iklan kecil saja. Saat itu,
saya berhasil mendapat iklan besar di salah satu universitas favorit di kota
ini. Dengan mendapat iklan seharga tujuh belas juta, saya
memperoleh fee yang lumayan dari iklan itu. Senang, bisa memberikan barang
kesukaan Bapak Ibu. Dan beberapa sanak keluarga juga dapat cipratan dari rezky
ku ini.
Tujuh bulan tak terasa. Meski hanya digaji di tiga bulan pertama, toh
itu cukup menjadi cambuk kuat untukku terus bekerja dan mulai mengerti susahnya
mencari duit. Oleh seorang senior di satu organisasi di kampus. Saya dipertemukan
dengan seorang konsultan hukum seorang anggota DPRD Provinsi Sul- Sel. Begitulah,
hubungan baik selalu mencari jalan yang baik pula. Beliau tengah mencari
seorang sekretaris pribadi untuk Sang Anggota Dewan. Ini menarik, bukankah
ketika kita bergaul dengan orang hebat, kelak kita pun akan mengikutinya, mengikuti
jejak keberhasilannya. Surat lamaran terkirim ke E-mail Sang Politikus.
Keesokan harinya saya dipanggil menghadap beliau. Matanya bulat penuh, bibirnya
tipis, senyumnya renyah menawan, dan
kulit putih bersih terpancar dari jari-jemarinya yang tengah menari di atas
laptop. Dia lalu memandangku sarkastik. Seperti menahan keanehan, dan menatap mataku yang malah terkagum-kagum akan
kecantikannya. “Sebentar malam kamu ke rumah yah! “ Tegasnya sembari
membereskan laptopnya. Kemudian berlalu, dan meninggalkan selembar kartu nama.
Beberapa menit lagi, beliau rapat . Hal yang lazim di kalangan politikus.
Hujan membungkus kota Makassar dan sesekali
kilat-kilat terukir keras di gelapnya langit. Saya risau, sudah jam tujuh
malam, hujan belumlah mereda. Saya harus berada di rumah Ibu itu sekarang.
“Kamu harus merebut kepercayaan Ibu itu,Nak! Ini kesempatan emasmu untuk
berkawan dengan orang-orang besar, “ pesan Ayah di ujung telepon ketika
kukabari rencanaku berkunjung ke rumah anggota DPRD.
Berbalut jas hujan, saya memberanikan diri
menembus malam ke rumah Sang Anggota Dewan, mencari alamat yang tertera pada
kartu namanya. Dia ternyata tengah tidur, ucap salah seorang pekerjanya. Tapi
tidak apalah, saya menunggu sampai Ibu cantik itu bangun. Sejam berlalu, dan
dia keluar dengan mata sembab.”Maaf ya dek, saya ketiduran abis rapat panjang
tadi siang,” sergah mu ketika melihatku.
Penampilan itu adalah hal pertama yang
membungkus image kita. Tidak perlu bermewahan, namun mesti elegan. “Orang akan
respect, ketika kita tampil elegan dan sopan,” ajarmu. Tak lama, kamu melangkah ke belakang mengambil sesuatu
di dalam kamar. Segopok kain, baju batik, setelan blazer, dan tas elit kamu sodorkan.
“Ambillah!! Buatlah dirimu semenarik mungkin. Di rak sepatu, ambil saja sepatu yang sesuai kakimu,
dan tolong bantu saya bekerja dengan baik,” harapmu. Tak sia-sia rasanya, saya
mempertaruhkan malam dingin ini menemuimu Ibu cantik. Tak lupa, kamu
menyarankanku untuk rajin membaca bertita-berita mengenai iklim perpolitikan di
Sul-Sel, serta mencaritahu
ketertinggalan dan kemajuan dari daerah pilihan mu. Enrekang , Sidrap, dan
Pinrang.
Ritme kerjaku berubah
seketika. Jika dulu, media menuntut kita berpenampilan heboh dan trendy di depan relasi. Di Lingkungan politik
ini, saya dituntut bergaya Ibu-ibu modern.
Saban hari, wajib memakai jaz,
sepatu berhak mesti tertutup rapat, segala gerak-gerik mesti dijaga, cara senyum
dan bertatap muka dengan para politikus. Dan berkantor di ruanganmu. Saya
benar-benar menjadi seorang sekretaris Anggota Dewan. Mengatur seluruh jadwal
pertemuanmu, menjadi notulen pribadi ketika rapat di komisi mu. Tak pelak,
wajah-wajah gagah dan terhormat yang
kerap berwara-wiri di koran harian, sering kujumpai di tempat ini.
Mereka kadang
berdebat, memberi saran, mempertahankan pendapat, saling melempar pasal, bermufakat,
dan juga ada duduk tertidur di tengah rapat. Yang terakhir ini menarik. Saya
sontak berpikir, apakah lansia ini
bosan, sakit, tidak mengerti apa yang dibicarakan, atau apa!Orang yang mestinya
istirahat , menjaga kesehatan, menikmati masa senja bersama cucu, kok malah
jadi kepanjangan tangan masyarakat? Edan
untuk beliau, dan lebih edan pada masyarakat yang memilihnya.
Selama dua bulan
itu, saya benar-benar menjadi bagian dari Sang Anggota Dewan. Tak jarang, dia
mengajakku nginap dan membantu membereskan berkas-berkas yang tak penting di
kamarnya, menjadi pendengar saat dia menceritakan kenakalan anaknya, dan
tentang waktunya yang jarang berkumpul bersama keluarga. Tak ada lagi batasan
sekretaris pribadi dan asisten pribadi. Semua melebur. Ketika saya keseringan
disuruh hal sepele pun, saya anggap itu
hanyalah proses belajar. Kelak,
saya akan menjadi orang hebat sepertinya!
Gumamku dalam hati. Kami seperti teman baik. Pernah dalam perjalanan pulang,
ketika saya numpang di mobilnya. Dia menitip beberapa lembar uang. Bukan lagi
untuk saya, tapi untuk Mama di kampung. Katanya uang pembeli ayam. Haha,
ada-ada saja Ibu ini.
Soal politik, beliau terbilang cerdas. Retorika
politiknya hebat, cara bertuturnya pun tegas dan sistematis, disisipi dengan senyum manisnya. Saya terkagum-kagum dengan wanita berusia 40
tahun ini. Dan juga, dia kuat mencari
tahu fakta-fakta di lapangan. Beberapa
jabatan penting lain diembannya, entah
di organisasi partainya, maupun organisasi sosial lainnya, semua mengenai
pembelaannya pada kaum perempuan. Saya
sering diajaknya bertemu konstituennya dibeberapa daerah kala reses. Selain
mengecek pembangunan yang sedang berlangsung, menyerap aspirasi masyarakat, dia
kerap memimpin rapat informal dengan para konstituen dan timnya. Mengatur
eskalasi politiknya, menyusun upaya apa saja untuk menjaga citra baiknya di
media, dan apalah kegiatan lain yang bisa membuat namanya membumbung tinggi, Begitulah
politik, tak cukup dengan hanya berniat baik saja, segala hal baik mesti
diwartakan, diperlihatkan kepada khalayak ramai.
Selama dua bulan ,
saya belajar pada Ibu ini. Belajar memegang kepercayaannya, belajar dari cara
memimpinnya. Dan tanpa sepengetahuannya, saya diam-diam mengikuti seleksi
penerimaan CPNS di Badan Pusat Statistik. Turut meramaikan musim CPNS ujung tahun itu. Bukan
karena saya tak betah bekerja dengannya, namun lebih memikirkan harapan panjang
di masa mendatang. Tak ada ambisi menggebu akan lulus untuk
semua tahap tes. Saya minim pengetahuan mengenai dunia PNS. Terlebih latar
belakang keluarga yang jauh dari status ini. Jadilah saya menghadapi ujian dengan belajar seadanya,
mereview buku-buku terkait, dan berusaha meyakinkan kala tes wawancara. Tuhan pun mengamini. Saya dinyatakan lulus menjadi abdi negara
melalui instansi BPS. Tanpa nepotisme, dan tanpa biaya pemulus se sen pun. Jika
beberapa kawan kerap mengeneralkan penerimaan PNS yang identik dengan
suap-menyuap, melalui tulisan ini insya allah argument ini terbantahkan dengan
sendirinya. Kerja keras dan kegigihan memang selalu juara. Terimakasih untuk
fase –fase yang telah alami membentuk saya.
(17 Januari 2013)
0 komentar:
Posting Komentar