(Shaela
Mayasari, KSK Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan). Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Varia Statistik BPS, Edisi Januari 2015. Dan ini merupakan naskah asli Penulis.
Blusukan. Yang oleh bahasa Jawa berarti masuk. Istilah ini pertama kali dipopulerkan Presiden
RI, Jokowi yang kalah itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, untuk
masuk ke perkampungan mendatangi masyarakat kecil. Kita tentu masih ingat bagaimana
Jokowi menerobos banjir, memantau sampah-sampah yang menggunung menggenangi
sudut-sudut kota, mengecek implementasi proyek-proyek di tengah jalanan yang
becek, serta kesukaannya menjadikan pasar sebagai tempat berinteraksi dengan
masyarakat luas. Hal ini tentu ditanggapi positif banyak pihak yang menganggap blusukan itu akan melahirkan solusi dan
kebijakan pemerintah yang memihak kepada rakyat kecil.
Hal yang sama rupanya ditiru dan dilakukan
para armadanya di ‘Kabinet Kerja’. Gaya blusukan para menteri ini
beragam. Ada yang lompat pagar, bicara merakyat, mencak-mencak kepada petugas
di lapangan, menggunakan motor gede tanpa berhelm, berkunjung ke pasar saat tengah malam, dan macam-macam
tingkah blusukan mereka.
Kita asumsikan
blusukan mereka adalah untuk
melihat langsung realitas yang terjadi di lapangan. Yang tentunya akan
melahirkan data awal mereka menyusun program kerja dan mengevaluasi program
yang telah berjalan. Meskipun sebagai orang bernalar, tentunya hati kecil kita
pun disisipi tanya akan maksud blusukan mereka. Apakah blusukan itu adalah bawaan otentik mereka?
Atau demi popularitas? Demi pencitraan? Apakah hanya insidentil saja? Atau akan
berlangsung terus-menerus sebagai gaya lain mereka memerintah secara
nonbirokratis. Terlalu dini jika harus menilai kerja ‘Kabinet Kerja’ ini
sekarang, biarkan waktu serta pengaruh kebijakan mereka kelak yang akan
menjawab.
KSK sebagai garda terdepan BPS tentunya juga memiliki kesamaan dengan menteri dalam ‘Kabinet Kerja’.
Jika para pejabat teras ini blusukan dengan pengawalan khusus, ditemani blits
dan sorotan kamera sehingga dengan sekejap langsug diketahui khalayak luas.
Maka tidak demikian dengan gaya blusukan KSK. Blusukan mengumpulkan data di
lapangan tentu tidak semudah dengan blusukan ala Pak Menteri. Tidak ada pengawalan dan tidak
ada jaminan akan adanya sambutan yang hangat di lokasi blusukan.
Gorong-gorong, tempat kumuh, pegunungan, jalanan terjal
bebatuan, kawasan perindustrian yang ketika kaki menginjak maka akan disambut
serbuan longlongan anjing, daerah kepulauan yang untuk ke sana sangat riskan
jika musim hujan tiba, semuanya ditempuh seorang diri. Demi apa jika bukan
untuk mengumpulkan data kondisi sebenarnya dari responden yang terpilih sampel survei.
Intrik politik yang melekat dari para
pejabat dalam blusukan tentu tak bisa dinafikkan. Blusukan yang jauh dari
pamrih, jelas milik KSK. Di sana ada janji tulus yang telah terpatri sebagai ujung tombak data BPS .
Blusukan memiliki dampak
dan makna moral bagi mereka yang dikunjungi. Jadi sudah seharusnya tidak boleh dimotivasi
oleh hal-hal egoistis atau untuk kepentingan tertentu. Seperti trend blusukan yang biasanya menjamur tatkala
musim Pilkada tiba. Begitupun trend blusukan ‘Kabinet Kerja’ ini semoga tidak
hanya sekedar trend sesaat atribut
pemanis kinerja mereka. Karena lebih
dari itu, masyarakat kecil butuh ‘mata’ lain untuk memotret secara menyeluruh
kondisi kehidupan mereka untuk dianalis oleh sang penentu kebijakan. Bukan
sebagai tempat persinggahan semata dengan maksud terselubung. Saya pernah
mendengar langsung seorang kawan di pulau seberang, bercerita betapa bangganya
dia memiliki Kepala Daerah yang gemar blusukan. Tapi blusukan yang ala KSK,
seorang diri, jauh dari sorot kamera dan pantauan media, bahkan di luar jam
kerja. Semoga masih banyak pemimpin-pemimpin sejenis di negeri ini.
Frances Hutcheson, seorang
filsuf asal Irlandia mengatakan bahwasanya sebuah kebijaksanaan harus mengacu
pada pengupayaan pencapaian tujuan-tujuan yang paling baik dengan cara-cara
terbaik. Hutcheson adalah seorang penganut paham utility, yang menganggap bahwa ketika kita memilih tindakan yang
paling bermoral, manfaat merupakan salah satu alasan yang berpengaruh pada
sejumlah orang dalam mengambil tindakan, yang akan membawa kebahagiaan. Jadi
melalui blusukan itu, penting juga untuk memperkirakan seberapa banyak orang
yang akan terpengaruh akan manfaat dari blusukan. Bukan sebagai sarana untuk
mempromosikan diri sebagai orang yang bercitra baik. Atau lebih tepatnya,
blusukan bukanlah sebuah aksi teatrikal.
Sementara
dari KSK sendiri, manfaat dari pengumpulan data yang kita lakukan jelas
memiliki dampak yang luar biasa. Pemerintah akan buta tanpa data BPS. Baik itu
perencanaan, pelaksanaan, hingga pengevaluasian program-program kerjanya yang
pro rakyat. Dan melalui core values
BPS, yakni Profesional, Integritas, dan Amanah (PIA), para pegawai BPS
terkhusus KSK sebagai pemotret langsung realitas di masyarakat dan
sektor-sektor lainnya, tentunya bersumbangsih besar dalam mencapai tujuan
bangsa. Jika miniatur dari pemerintahan Jokowi-JK sekarang adalah para menterinya
di ‘Kabinet Kerja’ . Maka miniatur dari BPS sebagai lembaga penyedia data
terpercaya untuk semua, ada di tangan para pencacah(baca:KSK) sebagai ujung
tombak sumber data BPS.
Kepercayaan
dan tanggung jawab besar ini harus terus
dijadikan nafas dalam bekerja dan ber-blusukan. Tidak boleh main-main, karena
KSK dan ‘Kabinet Kerja’ ini adalah representasi dari rakyat Indonesia. Keakuratan
data Pemerintah Indonesia bersumber dari
kecermatan mereka melihat fakta di lapangan. Semboyan Jawa ini sepertinya tepat untuk
ditanamkan di nurani masing-masing. Rame ing
gawe, sepi ing pamrih( Giat bekerja, tanpa mengharapkan pamrih/imbalan).
Dan mari ber-blusukan tanpa pamrih. ;)
0 komentar:
Posting Komentar