RSS

Rabu, 25 Februari 2015

Blusukan, Kabinet Kerja, dan KSK



(Shaela Mayasari, KSK Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan). Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Varia Statistik BPS, Edisi Januari 2015. Dan ini merupakan naskah asli Penulis.
Blusukan. Yang oleh bahasa Jawa berarti masuk.  Istilah ini pertama kali dipopulerkan Presiden RI, Jokowi yang kalah itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, untuk masuk ke perkampungan mendatangi masyarakat kecil. Kita tentu masih ingat bagaimana Jokowi menerobos banjir, memantau sampah-sampah yang menggunung menggenangi sudut-sudut kota, mengecek implementasi proyek-proyek di tengah jalanan yang becek, serta kesukaannya menjadikan pasar sebagai tempat berinteraksi dengan masyarakat luas. Hal ini tentu ditanggapi positif banyak pihak yang menganggap  blusukan itu akan melahirkan solusi dan kebijakan pemerintah yang memihak kepada rakyat kecil.
Hal yang sama rupanya ditiru  dan dilakukan  para armadanya di ‘Kabinet Kerja’. Gaya blusukan para menteri ini beragam. Ada yang lompat pagar, bicara merakyat, mencak-mencak kepada petugas di lapangan, menggunakan motor gede tanpa berhelm, berkunjung  ke pasar saat tengah malam, dan macam-macam tingkah blusukan mereka.

Kita asumsikan  blusukan mereka  adalah untuk melihat langsung realitas yang terjadi di lapangan. Yang tentunya akan melahirkan data awal mereka menyusun program kerja dan mengevaluasi program yang telah berjalan. Meskipun sebagai orang bernalar, tentunya hati kecil kita pun disisipi tanya akan maksud blusukan mereka. Apakah  blusukan itu adalah bawaan otentik mereka? Atau demi popularitas? Demi pencitraan? Apakah hanya insidentil saja? Atau akan berlangsung terus-menerus sebagai gaya lain mereka memerintah secara nonbirokratis. Terlalu dini jika harus menilai kerja ‘Kabinet Kerja’ ini sekarang, biarkan waktu serta pengaruh kebijakan mereka kelak yang akan menjawab.
KSK sebagai garda terdepan BPS  tentunya juga memiliki  kesamaan dengan menteri dalam ‘Kabinet Kerja’. Jika para pejabat teras ini blusukan dengan pengawalan khusus, ditemani blits dan sorotan kamera sehingga dengan sekejap langsug diketahui khalayak luas. Maka tidak demikian dengan gaya blusukan KSK. Blusukan mengumpulkan data di lapangan tentu tidak semudah dengan blusukan ala  Pak Menteri. Tidak ada pengawalan dan tidak ada jaminan akan adanya sambutan yang hangat di lokasi blusukan.
Gorong-gorong, tempat kumuh, pegunungan, jalanan terjal bebatuan, kawasan perindustrian yang ketika kaki menginjak maka akan disambut serbuan longlongan anjing, daerah kepulauan yang untuk ke sana sangat riskan jika musim hujan tiba, semuanya ditempuh seorang diri. Demi apa jika bukan untuk mengumpulkan data kondisi sebenarnya dari responden yang terpilih sampel survei. Intrik  politik yang melekat dari para pejabat dalam blusukan tentu tak bisa dinafikkan. Blusukan yang jauh dari pamrih, jelas milik KSK. Di sana ada janji tulus  yang telah terpatri  sebagai ujung tombak data BPS  .
Blusukan memiliki dampak dan makna moral bagi mereka yang dikunjungi.  Jadi sudah seharusnya tidak boleh dimotivasi oleh hal-hal egoistis atau untuk kepentingan tertentu. Seperti trend blusukan yang biasanya menjamur tatkala musim Pilkada tiba. Begitupun trend blusukan ‘Kabinet Kerja’ ini semoga tidak hanya sekedar trend sesaat atribut pemanis kinerja mereka.  Karena lebih dari itu, masyarakat kecil butuh ‘mata’ lain untuk memotret secara menyeluruh kondisi kehidupan mereka untuk dianalis oleh sang penentu kebijakan. Bukan sebagai tempat persinggahan semata dengan maksud terselubung. Saya pernah mendengar langsung seorang kawan di pulau seberang, bercerita betapa bangganya dia memiliki Kepala Daerah yang gemar blusukan. Tapi blusukan yang ala KSK, seorang diri, jauh dari sorot kamera dan pantauan media, bahkan di luar jam kerja. Semoga masih banyak pemimpin-pemimpin sejenis di negeri ini.
 Frances Hutcheson, seorang filsuf asal Irlandia mengatakan bahwasanya sebuah kebijaksanaan harus mengacu pada pengupayaan pencapaian tujuan-tujuan yang paling baik dengan cara-cara terbaik. Hutcheson adalah seorang penganut paham utility, yang menganggap bahwa ketika kita memilih tindakan yang paling bermoral, manfaat merupakan salah satu alasan yang berpengaruh pada sejumlah orang dalam mengambil tindakan, yang akan membawa kebahagiaan. Jadi melalui blusukan itu, penting juga untuk memperkirakan seberapa banyak orang yang akan terpengaruh akan manfaat dari blusukan. Bukan sebagai sarana untuk mempromosikan diri sebagai orang yang bercitra baik. Atau lebih tepatnya, blusukan bukanlah sebuah aksi teatrikal.
Sementara dari KSK sendiri, manfaat dari pengumpulan data yang kita lakukan jelas memiliki dampak yang luar biasa. Pemerintah akan buta tanpa data BPS. Baik itu perencanaan, pelaksanaan, hingga pengevaluasian program-program kerjanya yang pro rakyat. Dan melalui core values BPS, yakni Profesional, Integritas, dan Amanah (PIA), para pegawai BPS terkhusus KSK sebagai pemotret langsung realitas di masyarakat dan sektor-sektor lainnya, tentunya bersumbangsih besar dalam mencapai tujuan bangsa. Jika miniatur dari pemerintahan Jokowi-JK sekarang adalah para menterinya di ‘Kabinet Kerja’ . Maka miniatur dari BPS sebagai lembaga penyedia data terpercaya untuk semua, ada di tangan para pencacah(baca:KSK) sebagai ujung tombak sumber data BPS.
Kepercayaan dan tanggung jawab  besar ini harus terus dijadikan nafas dalam bekerja dan ber-blusukan. Tidak boleh main-main, karena KSK dan ‘Kabinet Kerja’ ini adalah representasi dari rakyat Indonesia. Keakuratan data  Pemerintah Indonesia bersumber dari kecermatan mereka melihat fakta di lapangan.  Semboyan Jawa ini sepertinya tepat untuk ditanamkan di nurani masing-masing. Rame ing gawe, sepi ing pamrih( Giat bekerja, tanpa mengharapkan pamrih/imbalan). Dan mari ber-blusukan tanpa pamrih. ;)


0 komentar:

Posting Komentar