Matahari masih
malu-malu merangkak pagi ini di langit Makassar (5/3/2015). Ketika saya hendak
menempuh 30 km perjalanan ke Maros. Selama tujuh bulan terakhir ini, saya
memang melewati subuh dan pagi dengan kondisi yang tak biasanya. Terbangun saat
lantunan indah ayat-ayat Al-Quran dari Mesjid AL-Markaz mulai menggema, bersukacita
menyambut datangnya waktu Shalat Shubuh. Puja puji Asma Allah begitu
terdengar merdu menenangkan saban subuhnya, membuat rasa syukur akan hidup ini
tumpah ruah. Hal ini yang membikin semangat saya terus hidup tiap pagi.
Tujuh bulan terakhir ini saya menjadi penduduk liar warga di Sunu Makassar.
Yang hanya numpang istirahat di malam hari saja.
Keputusan untuk
melanjutkan studi di Paca Sarjana Unhas, mengharuskan saya memilih jalan ini.
Hal yang telah lama saya citakan, menuntut pendidikan dengan biaya sendiri.
Biaya dari hasil kerja keras sendiri. Nekat memang, memilih melanjutkan kuliah
tanpa melepas kewajiban pokok sebagai seorang pegawai biasa. Konsekuensinya,
tidak boleh ada yang berubah dengan jam kerja dan produktifitas pekerjaan saya.
Mengambil Kelas Sabtu Minggu jelas tidak bisa, hal ini adalah larangan
tersediri di instansi kami. Alhasil, saya mengikuti jam perkuliahan malam, lima
hari dalam seminggu. Berbaur bersama para eksekuif dan pekerja yang juga sevisi
dengan saya, mencari wawasan dan khazanah ilmu baru dari perspektif-perspektif
akademisi, menjadi pembelajar guna menopang tangga karir yang hendak didaki.
Tidak
mudah memang, saya pun kelimpungan di awal-awal beradaptasi dengan ritme ini.
Bagaimana bisa saya yang merupakan pekerja lapangan tulen tiap harinya di Maros
, harus kemudian hadir di Kampus Kandea Universitas Hasanuddin malam harinya ba’dha
Maghrib yang berjarak 30 km. Dan ini berlangsung dari Senin-Jumat. Tapi semua
terkalahkan karena semangat yang terus menari-nari, seolah begitu menikmati
tarian kesibukan ini. Bagaimanapun, keputusan telah dibuat. Mengingkarinya
berarti tak menghargai pilihan sendiri. Selepas kantor jam 16.00 Wita , saya
gunakan 1,5 jam untuk berkemas bersiap-siap. Dengan asumsi normal waktu
perjalananan 1,5 jam dari Kota Maros ke Kota Makassar, include dengan waktu
shalat maghrib. Agenda ini membuat saya bisa
tiba on time di ruang perkuliaan.
Tekanan ternyata tidak hanya sampai disitu.
Tugas-tugas perkuliahan terus berbenturan dengan tugas-tugas kantor. Saya jelas
mendahulukan kepentingan kantor, karena di sana ladang rezky saya berkembang
biak. Tetapi juga tidak menyampingkan jiwa pembelajar saya yang sedang
terpelihara baik. Mengambil Mata Kuliah Manajemen ternyata membuat saya sedikit
banyak pandai mengatur manajemen waktu. Mempelajari kekuatan dan kelemahan
diri, serta berhitung-hitungan dalam jam-jam skala prioritas. Semua mendapat
porsi dan ruang perhatian masing-masing. Keduanya penting. Kesibukan ini
membuat saya terus berpikir dan berpikir. Sebisa mungkin tidak ada yang dikorbankan
dan harus dalam satu mata rantai. Saling mengikat
Saya
menyembunyikan rutinitas ini dari keluarga, mereka sama sekali tidak tahu
menahu perihal bolak-baliknya saya saban harinya demi kedua hal ini. Selain
menjaga kekhawatiran mereka, juga karena saya terlalu percaya diri bisa aman
dari lengan-lengan kejahatan yang sebenarnya mengintai di mana saja. Begitupun
dengan datangnya musim hujan, saya telah mempersiapkan diri dengan baik
menghadapinya. Dan sejauh ini, ujian terhadap itu telah saya lulusi. Bertahan
di tengah siraman hujan deras dan angin kencang. Demi ilmu dan demi kehidupan
yang lebih baik.
Berita
gank motor dan tindak kejatan lainnya di jalan raya, wara wiri mengisi pemberitaan Makassar bebarapa
pekan terakhir. Berita itu menjadi momok menakutkan. Bagaimana tidak! Mereka begitu bengis dan tidak berperikemanusiaan. Berharap mereka
berperikemanusiaan! Hah, atau jangan-jangan mereka tak punya hati yah. Mereka
melakukan pembegalan motor, menjambret, mengancam dengan senjata tajam, dan yang
lebih sadis dengan membunuh pengguna jalan raya secara terstruktur. Korban yang
diincar pun tak pandang bulu. Kapan ada kesempatan akan mereka lahap habis.
Terkhusus, mengincar kaum perempuan yang dianggap lemah. Hal ini jelas menjadi
sasaran empuk mereka yang menggagap tidak ada perlawanan berarti jika berlawanan
fisik dengan perempuan. Rentetan peristiwa ini memang membebani pikiran saya akhir-akhir
ini. Sehingga terus membentengi diri dengan tawakkal dan doa. Karena tentu
semua atas kuasa Sang Ilahi. Tapi tetap memproteksi diri dengan kehati-hatian dan
menghindari pengguna jalan raya yang memberi gelagat mencurigakan.
Saya
selalu mengkawatirkan keluarga dan teman-teman terdekat terkait realitas ini,
yang masih berseliweran di jalan raya hingga malam hari. Namun kita tidak bisa
menghindar, jika aktifitas keluar hingga larut malam karena tuntutan profesi atau keperluan penting mendesak
lainnya. Namun rupanya para pelaku tindak kehajatan ini begitu sadar bahwa
mereka diintai senjata dan aparat keamanan sepanjang malam. Dan pagi ini, Jam
06.05 saya menjadi saksi langsung sekaligus korban betapa bengis dan jahatnya
mereka. Sesuatu yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya, yakni menaruh tas
ransel berat di depan jok motor, rupanya inilah menjadi angin segar mereka yang
telah mengintai dari jauh.
Beban kerja
yang begitu berat pekan ini, mengharuskan saya membawa laptop tiap harinya ke
Makassar. Karena setelah kuliah, saya bisa memanfaatkan waktu sebelum tidur
untuk menyicil pekerjaan tersebut sedikit demi sedikit. Dan subuh tadi, saya
tak kuasa menahan beban sakit di punggung dikarenakan seringnya membawa bawaan
yang berat. Sehingga pertamakalinya mengambil keputusan untuk menaruh tas
berisi laptop, pakaian tidur,dompet, dua buah Hp, alat tulis-menulis,
buku-buku, dan dokumen penting yang semalaman saya kerja itu, di depan jok
motor. Mereka merampas dengan mudahnya tas ransel itu, berlalu kencang tanpa ada perlawanan dari
saya yang justru jatuh terpental bersama motor. Kejadian ini berlangsung di
depan SMK Negeri 5, di Jln. Sunu
Makassar, pukul 06.05 pagi yang masih sangat dingin dan hanya dilalui para pejalan kaki usai shalat subuh berjamaah.
Kejadian
ini pahit. Sangat pahit. Dan saya sangat berharap tidak ada lagi keluarga
ataukah teman yang mengalami hal yang demikian. Terus berhati-hati dan mawas
diri. Mengenai luka-luka yang mencedarai, dan barang pribadi yang hilang telah saya
ikhlaskan. Saya penuh syukur masih terselamatkan. Tentu ada pembelajaran Tuhan
di balik musibah ini. Tapi amanah itu
sekarang terus menghantui, laptop dan
beberapa dokumen penting di tas itu milik negara. Dan saya telah lalai dalam
menjaganya…L Penjambret
itu mematahkan semangat
0 komentar:
Posting Komentar