RSS

Minggu, 10 Januari 2016

Sudah Idealkah ‘Mitra’ Kita?


(Shaela Mayasari, KSK Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sul-Sel)
Tulisan ini diterbitkan di Majalah Varia Statistik Edisi Bulan November 2015. 
            Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan akan data BPS semakin tinggi dan beragam. Banyak pihak yang makin mempercayakan BPS sebagai lembaga yang berkompeten untuk kebutuhan data mereka. Baik itu dari pemerintah maupun swasta. Ini jelas menjadi tantangan tersendiri. Sehingga semakin ke sini, beban kerja BPS  semakin berat,  baik itu di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Kegiatan dan survei-survei ad-hoc pun membanjir di tengah pekerjaan rutin   BPS.
Terkhusus kegiatan pencacahan/pengumpulan data dan pengolahan,  mustahil hanya mengandalkan tenaga organik saja, apalagi untuk sensus dan survei yang skalanya besar. Jumlah sampel yang berkali lipat lebih dari biasanya. Dan penyebaran wilayah pencacahan yang makin meluas. BPS sendiri melaui Perka BPS Nomor 77 tahun 2012 telah  menjamin adanya Tunjangan Kinerja (Tuki) setiap bulannya, sebagai kompensasi  kepada semua pegawai atas agenda reformasi birokrasi. Dengan mempertimbangkan tiga komponen, yakni tingkat pencapaian kinerja pegawai, tingkat kehadiran menurut hari dan jam kerja, serta ketaatan pada kode etik dan disiplin pegawai.
Pemberian Tuki ini secara otomatis membatasi ruang gerak pegawai BPS untuk terlibat penuh dalam semua proyek survei dan sensus. Dengan pertimbangan honor kegiatan yang tak mungkin dobel bersama Tuki. Jumlah pegawai BPS di negeri  ini pun tidak mampu mengakomodir seluruh  pekerjaan-pekerjaan besar ini.  Untuk proyek besar seperti sensus dan sekelasnya, tenaga mitra menjadi tumpuan  BPS. Kita menyadari,  mitra adalah bagian lain dari tubuh BPS,  tapi perannya begitu vital untuk kualitas data kita. Ini menyangkut kepercayaan publik akan data BPS yang diharapkan independen dan kredibel. Maka kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) para mitra ini mutlak menjadi perhatian serius kita semua.

Selama ini pola perekrutan mitra ditekankan kepada KSK, yang secara emosional mafhum kondisi masyarakat, demografis dan budaya suatu daerah. Sekalipun tak jarang kita harus melawan intimidasi dari aparat setempat (Kepala Desa/ Kepala Kelurahan) yang bak penguasa daerah,  berkoar-koar menginginkan staf atau kerabatnya yang terpilih sebagai mitra, mengikuti survei-survei yang diadakan BPS. Dengan honor yang tidak sedikit tentunya. Hal ini tentu akan kita respon baik selama mitra yang disodorkan sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan BPS. Tapi jika mitra tersebut sebelumnya memiliki rekam jejak buruk, hanya sekedar mengejar ‘duit’, mengejar kenyamanan fasilitas hotel kala pelatihan, dan tidak serius dengan apa yang menjadi visi-misi BPS, maka sudah pasti mencoretnya adalah keharusan.  
Penulis  sepakat dengan pernyataan Pimpinan Provinsi Sul-Sel,  bahwasanya pencacah itu bukan kurir pos. Yang tugasnya hanya mencatat, menerima mentah-mentah barang kiriman, lalu meneruskannya. Lebih dari itu, kita butuh otak yang bisa menganalisis rasionalitas dan konsistensi dari jawaban responden di lapangan. Sebut saja  Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Sensus Penduduk, Sensus Pertanian, Survei Lahan, Program Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT)yang melibatkan mitra banyak. Pencacah tidak hanya dituntut untuk memaksimalkan probing, tapi harus cerdas menganalisis jawaban responden.
 Logiskah jika ruta responden mengkonsumsi beras dua-tiga kilo perharinya dimana hanya sepasang suami istri saja yang tinggal di rumah itu, begitupun pengeluaran-pengeluaran non makanan yang membludak jumlahnya sementara responden telah tiga bulan ini dalam kondisi menganggur. Kehati-hatian mitra juga dituntut untuk menggali data-data sensitif, seperti mendata inventaris rumah tangga sasaran dan kehidupan suami istri responden. Itu semua butuh logika yang mumpuni dan ketajaman berfikir dari pencacah.
 Hemat Penulis, faktor utama pemicunya karena sense of belonging  (rasa memiliki) para mitra terhadap BPS belum tersentuh. Tengoklah proses pengawasan dan editing dari pekerjaan mitra kita. Masih butuh banyak klarifikasi ketika memeriksanya. Sense of belonging ini positif, karena akan menumbuhkan rasa cinta dan tanggungjawab ekstra bagi mitra terhadap BPS. Kita bisa bercermin dari mitra-mitra  instansi lain, lazim kita dengar kader BKKBN, Kader Desa, Kader Posyandu, PPL Pertanian, bujang sekolah, guru honorer bahkan sukarela, yang semua statusnya sama dengan mitra kita di BPS.  Mereka bukanlah pegawai organik, tapi  sense of belonging mereka terhadap instansinya begitu bulat. Mereka  bangga dengan statusnya itu
BPS harus berbenah menyoal tenaga mitra. Mereka adalah pondasi data kita. Jika mereka kuat, maka kuatlah data kita. Pada dasarnya, orang akan cenderung memiliki sense of belonging jika rasa cinta itu telah mengakar. Rasa cinta para pegawai BPS terhadap BPS tentu berbeda dengan rasa cinta  mitra kepada BPS. Dari sisi kesejahteraan, BPS telah menjamin hidup kita sekarang dan di masa depan, maka sense of belonging kita tentunya telah mendarahdaging dan membuat kita loyal, bekerja ekstra bagi instansi tercinta kita ini.  Tapi bagaimana dengan mitra?
 Persoalannya sekarang adalah kita kerap terbentur oleh arogansi kepala daerah tingkat desa/ lurah dan kecamatan dari perekrutan mitra. Perlu adanya payung administrasi dari BPS Provinsi maupun pusat yang secara resmi merangkul mitra kita. Sehingga tidak ada lagi istilah mitra untuk survei ini, mitra untuk survei itu, dan sebagainya. Tapi dia adalah Mitra Statistik Kecamatan yang resmi, yang penunjukannya disertai serangkaian tes laiknya pegawai organik, yang telah lulus ujicoba beberapa survei, dan pendidikan sebagai ciri orang yang berkarakter dan berkualitas harus jadi syarat mutlak. Dan nama mereka patut disahkan dalam sebuah Surat Keputusan (SK). Meskipun secara status belum bisa sepenuhnya menjadi bagian dari Pegawai Negeri Sipil (PNS). Penulis paham, hal ini tidaklah mudah. Tapi ketika kita sepakat bahwa kualitas ‘mitra’ menjadi parameter kualitas data BPS, maka persoalan mendasar ini layak  diperjuangkan. Silahkan bertanya dan menjawabnya sendiri. Sudah Idealkah Mitra Kita?



0 komentar:

Posting Komentar