(Shaela
Mayasari, KSK Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sul-Sel)
Tulisan ini diterbitkan di Majalah Varia Statistik Edisi Bulan November 2015.
Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan akan data
BPS semakin tinggi dan beragam. Banyak pihak yang makin mempercayakan BPS
sebagai lembaga yang berkompeten untuk kebutuhan data mereka. Baik itu dari
pemerintah maupun swasta. Ini jelas menjadi tantangan tersendiri. Sehingga
semakin ke sini, beban kerja BPS semakin
berat, baik itu di tingkat pusat maupun
tingkat daerah. Kegiatan dan survei-survei ad-hoc
pun membanjir di tengah pekerjaan rutin
BPS.
Terkhusus
kegiatan pencacahan/pengumpulan data dan pengolahan, mustahil hanya mengandalkan tenaga organik
saja, apalagi untuk sensus dan survei yang skalanya besar. Jumlah sampel yang
berkali lipat lebih dari biasanya. Dan penyebaran wilayah pencacahan yang makin
meluas. BPS sendiri melaui Perka BPS Nomor 77 tahun 2012 telah menjamin adanya Tunjangan Kinerja (Tuki)
setiap bulannya, sebagai kompensasi
kepada semua pegawai atas agenda reformasi birokrasi. Dengan
mempertimbangkan tiga komponen, yakni tingkat pencapaian kinerja pegawai,
tingkat kehadiran menurut hari dan jam kerja, serta ketaatan pada kode etik dan
disiplin pegawai.
Pemberian
Tuki ini secara otomatis membatasi ruang gerak pegawai BPS untuk terlibat penuh
dalam semua proyek survei dan sensus. Dengan pertimbangan honor kegiatan yang
tak mungkin dobel bersama Tuki. Jumlah pegawai BPS di negeri ini pun tidak mampu mengakomodir seluruh pekerjaan-pekerjaan besar ini. Untuk proyek besar seperti sensus dan
sekelasnya, tenaga mitra menjadi tumpuan
BPS. Kita menyadari, mitra adalah
bagian lain dari tubuh BPS, tapi
perannya begitu vital untuk kualitas data kita. Ini menyangkut kepercayaan
publik akan data BPS yang diharapkan independen dan kredibel. Maka kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) para mitra ini mutlak menjadi perhatian serius kita
semua.
Selama
ini pola perekrutan mitra ditekankan kepada KSK, yang secara emosional mafhum
kondisi masyarakat, demografis dan budaya suatu daerah. Sekalipun tak jarang
kita harus melawan intimidasi dari aparat setempat (Kepala Desa/ Kepala
Kelurahan) yang bak penguasa daerah,
berkoar-koar menginginkan staf atau kerabatnya yang terpilih sebagai
mitra, mengikuti survei-survei yang diadakan BPS. Dengan honor yang tidak
sedikit tentunya. Hal ini tentu akan kita respon baik selama mitra yang
disodorkan sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan BPS. Tapi jika mitra
tersebut sebelumnya memiliki rekam jejak buruk, hanya sekedar mengejar ‘duit’,
mengejar kenyamanan fasilitas hotel kala pelatihan, dan tidak serius dengan apa
yang menjadi visi-misi BPS, maka sudah pasti mencoretnya adalah keharusan.
Penulis sepakat dengan pernyataan Pimpinan Provinsi
Sul-Sel, bahwasanya pencacah itu bukan
kurir pos. Yang tugasnya hanya mencatat, menerima mentah-mentah barang kiriman,
lalu meneruskannya. Lebih dari itu, kita butuh otak yang bisa menganalisis
rasionalitas dan konsistensi dari jawaban responden di lapangan. Sebut
saja Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas), Sensus Penduduk, Sensus Pertanian, Survei Lahan, Program
Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT)yang melibatkan mitra banyak. Pencacah
tidak hanya dituntut untuk memaksimalkan probing, tapi harus cerdas
menganalisis jawaban responden.
Logiskah jika ruta responden mengkonsumsi
beras dua-tiga kilo perharinya dimana hanya sepasang suami istri saja yang
tinggal di rumah itu, begitupun pengeluaran-pengeluaran non makanan yang
membludak jumlahnya sementara responden telah tiga bulan ini dalam kondisi
menganggur. Kehati-hatian mitra juga dituntut untuk menggali data-data
sensitif, seperti mendata inventaris rumah tangga sasaran dan kehidupan suami
istri responden. Itu semua butuh logika yang mumpuni dan ketajaman berfikir
dari pencacah.
Hemat Penulis, faktor utama pemicunya karena sense of belonging (rasa memiliki) para mitra terhadap BPS
belum tersentuh. Tengoklah proses pengawasan dan editing dari pekerjaan mitra
kita. Masih butuh banyak klarifikasi ketika memeriksanya. Sense of belonging ini positif, karena akan menumbuhkan rasa cinta
dan tanggungjawab ekstra bagi mitra terhadap BPS. Kita bisa bercermin dari
mitra-mitra instansi lain, lazim kita
dengar kader BKKBN, Kader Desa, Kader Posyandu, PPL Pertanian, bujang sekolah,
guru honorer bahkan sukarela, yang semua statusnya sama dengan mitra kita di
BPS. Mereka bukanlah pegawai organik,
tapi sense
of belonging mereka terhadap instansinya begitu bulat. Mereka bangga dengan statusnya itu
BPS
harus berbenah menyoal tenaga mitra. Mereka adalah pondasi data kita. Jika
mereka kuat, maka kuatlah data kita. Pada dasarnya, orang akan cenderung
memiliki sense of belonging jika rasa
cinta itu telah mengakar. Rasa cinta para pegawai BPS terhadap BPS tentu
berbeda dengan rasa cinta mitra kepada
BPS. Dari sisi kesejahteraan, BPS telah menjamin hidup kita sekarang dan di
masa depan, maka sense of belonging
kita tentunya telah mendarahdaging dan membuat kita loyal, bekerja ekstra bagi
instansi tercinta kita ini. Tapi
bagaimana dengan mitra?
Persoalannya sekarang adalah kita kerap
terbentur oleh arogansi kepala daerah tingkat desa/ lurah dan kecamatan dari
perekrutan mitra. Perlu adanya payung administrasi dari BPS Provinsi maupun
pusat yang secara resmi merangkul mitra kita. Sehingga tidak ada lagi istilah
mitra untuk survei ini, mitra untuk survei itu, dan sebagainya. Tapi dia adalah
Mitra Statistik Kecamatan yang resmi, yang penunjukannya disertai serangkaian
tes laiknya pegawai organik, yang telah lulus ujicoba beberapa survei, dan
pendidikan sebagai ciri orang yang berkarakter dan berkualitas harus jadi
syarat mutlak. Dan nama mereka patut disahkan dalam sebuah Surat Keputusan
(SK). Meskipun secara status belum bisa sepenuhnya menjadi bagian dari Pegawai
Negeri Sipil (PNS). Penulis paham, hal ini tidaklah mudah. Tapi ketika kita
sepakat bahwa kualitas ‘mitra’ menjadi parameter kualitas data BPS, maka
persoalan mendasar ini layak diperjuangkan.
Silahkan bertanya dan menjawabnya sendiri. Sudah Idealkah Mitra Kita?
0 komentar:
Posting Komentar