RSS

Kamis, 16 Februari 2017

Merawat Kritikan, Memupuk Kinerja



(Tulisan ini dikirim ke Redaksi Varia Statistik, 11 Januari 2017)
 
Sebagai insan BPS, hati siapa yang tidak terkoyak melihat tayangan salah satu televisi  nasional  baru-baru ini  bertajuk  “ Utak-Atik Data Statistik”. Sejak awal, narasi yang dibacakan sangat tendensius dan menyudutkan BPS. Data BPS diduga rentan rekayasa, sarat dengan kepentingan  pihak tertentu. Yang lebih menggeramkan, kita dituding merekayasa data    untuk  menambah pundi-pundi segelintir oknum penguasa.
Tayangan ini sontak melahirkan rasa kesal, dada bergemuruh, dan mulut yang seakan ingin mengklarifikasi  semua tuduhan negatif tersebut.  Bermula dari temuan Ombudsman Republik Indonesia Indonesia, yang mengkritisi data produksi beras nasional yang  semakin naik dari tahun ke tahun. Sementara dari sisi kesejahteraan, kehidupan petani kita begitu-begitu saja. Surplus beras yang dielu-elukan Menteri Pertanian, juga kontrakdiksi dengan apa yang terjadi di masyarakat. Di mana harga beras di pasar jauh lebih mahal dibanding harga di tingkat penggilingan padi. Ombudsman juga menilai ada yang ganjil, melihat data produksi beras yang terus meroket, tetapi di sisi lain  lahan sawah justru semakin tergerus.

Koreksi terhadap data kita memang bukan hal baru. Mengingat tentu ada pihak yang pro dan kontra. Namun tayangan ini seperti menilai dari satu sisi saja. Seperti kita ketahui, angka produksi beras/ Gabah Kering Panen (GKP)  itu itu bersumber dari pengalian luas panen dan produktivitas. Dalam pelaksanaannya, BPS hanya bertanggungjawab terhadap angka produktivitas, yang didapat melalui kegiatan ubinan tiap subroandnya. Sementara luas panen menjadi tanggungjawab dari instansi teknis, yakni Kementerian Pertanian.  Metode pengukuran luas panen dengan cara-cara konvensional dan eye estimate yang dilakukan para Kantor Cabang Dinas (KCD) Pertanian ditengarai merupakan kontributor utama terjadinya overestimate pada perhitungan luas panen tiap tahunnya, sehingga mendongkrak angka produksi beras nasional.
Tayangan tersebut menjadi tidak objektif, karena presenter acara terus menggiring opini bahwa BPS adalah biang kerok terhadap ketidakakuratan data statistik pertanian. Tanpa menelaah terlebih dahulu metode, pihak yang terlibat, dan konsep-konsep statistik yang digunakan. Nama baik instansi kita dicemarkan, dengan menuding ada  nominal subsidi yang dikejar berkaitan dengan peningkatan produksi beras tersebut. Padahal, kita sama sekali tak punya kepentingan terhadap eksekusi program-program tersebut di lapangan.
Tak hanya data pertanian. Data BPS lain, seperti pengangguran, kemiskinan, dan inflasi pun disoroti dalam tayangan ini. Mereka lagi-lagi menuding   validitas data kemiskinan kita tidak akurat.  Seorang Kepala Desa sebagai narasumber, mengatakan BPS tidak melibatkan pemerintah setempat dalam kegiatan pengumpulan data. Kita dianggap jalan sendiri tanpa melibatkan  mereka. Pernyataan ini tentu tidak merepresantasikan apa yang KSK lakukan ketika mendata. Untuk database kemiskinan dalam program Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) contohnya, aparat desalah yang menjadi tokoh utama dalam Forum Komunikasi Publik (FKP) yang dilakukan. Survei-survei rutin pun, tentu diawali dengan pemberitahuan kepada Kepala Desa/ Lurah ataukah Satuan Lingkungan Setempat (SLS).
Pada level Anggota DPR RI, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan pun berbau sentimen terhadap BPS. Semisal sanksi khusus yang diberikan pada oknum BPS yang terlibat manipulasi data. Padahal, tidak ada bukti real yang mengarah kepada Moral Hazard atau manipulasi data yang dilakukan oleh oknum BPS.  Cover Both Side, sebagai prinsip dan kode etik jurnalistik media seperti diabaikan dalam tayangan ini. Dimana ruang bagi BPS sangat sedikit dan tidak proporsional untuk menjawab tudingan-tudingan tersebut.
Wajar jika batin kita geram menyaksiakannya. Mereka tidak tahu, data BPS itu berasal dari keringat & peluh di lapangan. Menenteng peralatan ubinan berkilo-kilo jauhnya. Siang malam, hari kerja dan hari libur seakan sama saja ketika kita mengejar responden & waktu panen.  Jatuh bangun mengontrol & memanej mitra. Daratan, pulau, pegunungan, hingga hutan ditempuh agar mendapatkan data yang representatif.  Belum lagi di tingkat atas, pasti petinggi BPS siang malam memikirkan perencanaan, instrument, metodologi, hingga pelaksanaan & kesuksesan tiap sensus/survei di daerah.
Serbuan kritikan ini seperti menghentakkan kita. Ibarat pohon. Semakin tinggi, maka angin yang datang pun akan semakin kencang. Kita patut bersyukur, karena hal ini menyentakkan kita akan perhatian luar biasa yang ditunjukkan pihak luar terhadap BPS.  Sebagai bank data yang diaku oleh Pemerintah, BPS telah terbukti menjadi rujukan data bagi semua kalangan terkhusus pengambil kebijakan.  Kritik yang sifatnya konstruktif, harus kita pertimbangkan. Sementara tudingan negatif tanpa bukti konkrit, sebaiknya dijadikan pelecut untuk berkarya lebih baik lagi. Persoalan ada yang tidak senang dengan output data BPS, itu  hal  lumrah. Karena BPS tidak bisa memproduksi angka yang kebenarannya mutlak, tetapi memotret & membaca suatu fenomena. Mari bergandengan tangan membuktikan bahwa data kita independen dan bebas dari intervensi manapun.
Saatnya berbenah, kita mainkan peranan kita dengan penuh tanggungjawab & amanah. Core Values BPS dikedepankan.  Komunikasi & sosialisasi harus lebih diintensifkan dengan responden & kepala daerah setempat. Ini penting, agar mereka tahu sistem kerja BPS & ketidakterlibatan kita dalam eksekusi program-program bantuan Kementerian Teknis. Kritik-kritik sebaiknya kira rawat dan sikapi dengan bijak.  Mengutip pesan berantai  Kepala BPS RI. Bersama kita bisa, memperbaiki rumah kita tercinta.

0 komentar:

Posting Komentar