RSS

Kamis, 16 Februari 2017

Kalah Bermartabat



(Tulisan ini terbit di Harian Fajar , Jumat, 17/02 2017)

“Seperti halnya kompetisi-kompetisi lainnya, pasti ada menang dan ada yang kalah. Ada suka ada duka, Itulah realitas kehidupan.”

Demikian salah satu kutipan Agus  Harimurti Yudhoyono (AHY), dalam konferensi pers beberapa jam pasca pemilihan Gubernur­­­­­­­­_Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rabu (15/02).  Kita menyaksikan sejarah baru dalam dunia perpolitikan Indonesia. Tayangan yang sangat mencerahkan, inspiratif, dan bermartabat. Jika biasanya sehabis Pilkada digelar, hasil quick count akan disikapi beragam oleh para calon Kepala Daerah. Ada yang jumawa, serasa di atas angin dengan perolehan suaranya. Ada yang getar-getir menunggu hasil resmi dari KPU, sebagai lembaga resmi negara pelaksana pesta demokrasi. Ada yang siap dengan bukti-bukti saktinya, memasang kuda-kuda atas kekalahannya. Money politics, black campain, dan rupa-rupa alasan untuk mengganjal kemenangan lawan.
Fakta terakhir sangat sering kita saksikan di media cetak dan elektronik. Calon yang kalah, akan berlomba-lomba mendatangi Badan Pengawas Pemilihan Umum ( Bawaslu) melaporkan dugaan-dugaan kecurangan yang dihimpun saksi dan tim suksesnya yang berseliweran di TPS-TPS. Yang lebih ironis, beberapa diantaranya menyuap hakim untuk memuluskan penanganan kasus sengketa Pilkada yang dialaminya. Demikian besarnya ambisi menjadi penguasa, sehingga beragam cara dihalalkan demi satu kata, menang.
Maka menjadi tontonan yang sangat menyejukkan, ketika kurang dari 24 jam Pilkada serentak berlangsung, dimana hasil quick count telah wara-wiri di layar televisi kita. Calon Gubernur DKI Jakarta, Agus Harimurti Yudoyono (AHY) secara terbuka mengakui kekalahannya. Mengakui kemenangan lawan-lawannya. Dengan jiwa patriot, putra sulung mantan Presiden SBY ini memberikan selamat langsung kepada dua  pesaingnya yang memiliki suara unggul jauh darinya.
Tak terbayang rasa  sakit yang berkecamuk di dada AHY. Meninggalkan karir militer yang dibangunnya belasan tahun. Berpangkat mayor, dan pernah menjadi  Komandan Tim Khusus (Dan Timsus) dan Komandan Kompi (Danki), AHY tentu memiliki karir militer yang cemerlang dan menjanjikan di masa depan. Namun  apa dikata, panggilan politik di tanah air membelenggunya.  Masih terngiang diingatan, matanya yang berkaca-kaca dan nafas yang sedemikian diaturnya ketika pertamakali tampil di media, menyatakan kemunduran dirinya sebagai prajurit TNI demi maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta. Karir militernya tamat seketika. Tentu bukan hal yang mudah bagi AHY yang tak punya pengalaman birokrasi, berani maju melenggang di pentas politik tanah air. Meski menggaet birokrat lama sebagai wakilnya, AHY tetap berkewajiban besar belajar banyak hal tentang DKI Jakarta,  rumah yang akan dipimpinnya, kapal yang akan dinakhodainya.
 Dalam waktu beberapa bulan saja, AHY harus belajar singkat politik pemerintahan, birokrasi pemerintahan, dan menyusun strategi menghadapi kompleksitas masalah yang mewabah di ibu kota. Di awal-awal, elektabilitas  pasangan AHY dan wakilnya  dalam sejumlah survei memang berada di atas angin dari pasangan lainnya. Ini bisa jadi, karena kemunculannya sebagai mantan prajurit dianggap akan membawa angin perubahan bagi warga DKI Jakarta. Namun  mendekat hari pemilihan,  setelah melewati tiga  kali debat publik dan hari-hari kampanye, keadaannya terbalik. Posisinya tertinggal jauh dari lawan-lawannya. Hingga hari pencoblosan, dan hasil perhitungan cepat keluar, AHY berada di posisi buncit. Harus mundur di putaran pertama Pilkada ini. Tamparan keras tentunya, bagi seorang pemula yang telah mempertaruhkan banyak hal.
Sebagai penonton dan orang yang awam politik, saya melihat AHY cukup fasih dalam beberapa kali performance nya di ruang publik. Suaranya lantang,  matanya mengusasi audience, tutur katanya terstruktur, tegas, dan bersahabat,  diselingi  senyum khasnya. Meski harus diakui, program-program yang dikampanyekannya tawar,ngambang, dan terlalu teoritis. Namun sebagai pemula, performance yang ditampilkan AHY sungguh luar biasa.
Menjadi hal yang sangat menyejukkan, ketika pada hari yang sama, AHY melangsungkan konferensi pers. Secara ksatria dan berlapang dada mengakui kekalahannya, dengan tulus menyampaikan ucapan selamat kepada lawannya,  dan dengan kerendahan hati menyampaikan permohonan maaf dan terimakasih kepada orang-orang yang telah mendukungnya habis-habisan.  Padahal, keputusan resmi KPU belum keluar. AHY tidak mencari apologi, dan tanpa ngeles baja mencari-cari kambing hitam atas kekalahannya. Padahal, seperti kita ketahui. Malam sebelum pemilihan, malam di mana sebagian pemilih masih berada di batas kebimbangan menjatuhkan pilihan. Mantan Ketua Komisi Pemberantas Korupsi, Antasari Azhar melakukan manuver politik, melempar serangan mematikan kepada Ayahandanya, yang tak lain Ketua Umum Partai Demokrat, salah satu partai pendukungnya. Manuver gagal diantisipasi oleh tim pemenangan AHY.
Masyarakat Indonesia, terkhusus warga DKI Jakarta seperti di buat shock oleh pernyataan Antasari. Meskipun pernyataan itu benar atau tidak, namun media berhasil mengembangkan dan menjadikannya isu panas secepat kilat. Skenario pembebasan Antashari  dan manuver serangannya yang pas waktunya itu,  bisa menjadi alasan kuat AHY telah dicurangi atau menjadi korban black campaign. Namun hal ini sama sekali tak dipermasalahkannya. Sepertinya ini menjadi starting point yang baik bagi AHY untuk bertahan di panggung politik. Simpati telah diraih. Punya modal politik yang besar. Partai yang jelas. Sisa mengasah diri di usia yang masih relatif muda.
AHY menunjukkan kelasnya sebagai petarung yang bermartabat. Tidak butuh waktu lama, AHY merangkul semua pendukungnya dari keterpurukan. Memercikkan api semangat. Dengan penuh kerendahan hati, mengakui pada dunia akan kekalahannya.  Hal yang sangat langka dijumpai di tiap pesta demokrasi. AHY telah memberi kita pelajaran politik yang berharga. Bahwa dalam kompetisi apapun, kita harus siap menang, dan siap kalah.






0 komentar:

Posting Komentar