(Tulisan ini
memperingati Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2018)
(Shaela Mayasari, Penulis adalah Statistisi/ Koordinator
Statistik Kecamatan di BPS Maros)
Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal
8 Maret adalah tonggak sejarah dari perjuangan perempuan-perempuan New York pada akhir abad ke 19 hingga abad ke 20. Mereka melakukan long march, mogok bersama atas kondisi kerja yang tidak
layak, bersuara menuntut haknya, memangkas jam kerja yang tidak manusiawi, dan menuntut
upah yang layak di tengah gelombang ekspansi ekonomi. Hingga kemudian beberapa
negara bersepakat untuk menjadikan 8 Maret sebagai ‘International Women’s Day’.
Berbicara soal perempuan, tentu tak lepas dari kesetaraan
gender , yang merupakan hak asasi manusia. Di Indonesia, kesetaraan gender
sudah lama digaungkan. Kampanye kesetaraan gender dimaksudkan untuk membangun
kesadaran pentingnya laki-laki dan perempuan mendapat peluang yang sama di
ruang publik. Perempuan punya hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa
takut, bebas menentukan pilihan, dan berhak diikutsertakan kegiatan politik,
hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dsb.
Di zaman yang penuh keterbukaan ini, sudah jamak kita
menyaksikan perempuan di ranah publik. Beda dengan zaman orde baru yang penuh
ancam, di mana perempuan diidentikkan sebagai penghuni bilik. Zaman now,
bupati, gubernur, menteri, anggota legislatif, bahkan seorang presiden pun
telah mendudukkan perempuan sebagai puncak pimpinan. Di Kabinet Kerja Jokowi, Sembilan
dari 30 menteri ialah perempuan. Ini merupakan jumlah perempuan terbanyak yang
menduduki jabatan menteri sepanjang Indonesia merdeka. Untuk Pilkada Serentak
2018, KPU merilis jumlah partisipasi perempuan sebagai Calon Kepala Daerah pada
sebanyak 8,85 persen. Artinya, ada 101
perempuan dari 1140 pendaftar calon kepala daerah. Angka ini meningkat dari
partisipasi perempuan di Pilkada 2015 dan 2017.
Bangkitnya kepercayaan diri perempuan Indonesia tentu bukan
tanpa sebab. Pendidikan sebagai ciri orang berkualitas, telah diperjuangkan
perempuan. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2016, perempuan berumur 10
tahun ke atas yang berpendidikan Diploma ke atas mencapai 6,81 persen.
Sementara pria dengan pendidikan yang sama mencapai 6,48 persen. Meski ironi
dengan fakta lain bahwa 25,62 persen perempuan 10 tahun ke atas, tidak memiliki
ijazah pendidikan sama sekali.
Penulis masih menganggap hal ini sebagai sebuah kemajuan
berpikir, sebab dulu dan beberapa daerah primitif saat ini masih menganggap
tabu kaum perempuan mengenyam pendidikan tinggi. Tak ingin anak perempuanya
terseret pergaulan salah, fobia ketika anak perempuannya sakit di tanah rantau
sana, korban pelecehan, dan lain sebagainya. Mind-set tersebut telah bergeser, melihat begitu banyak perempuan dari
sudut negeri manapun bisa menunjukkan kiprahnya. Menduduki jabatan-jabatan
strategis. Menjadi orang berpengaruh. Menjadi perempuan cerdas, terhormat yang
tetap menjunjung tinggi etika kesopanan dan adat ketimuran. Dokter, tenaga kesehatan,
guru, polisi wanita, dosen, hingga
professor adalah sederet jabatan strategis perempuan di masyarakat saat ini.
Beberapa tokoh perempuan Indonesia yang
mendunia, diantaranya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Perempuan
kelahiran Bandar Lampung ini adalah
perempuan pertama di Indonesia yang menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank
Dunia. Kecerdasannya yang di atas rata-rata mengantar Sri Mulyani mendapat pengakuan dunia dari World
Government Summit 2018 sebagai menteri terbaik di dunia. Ada juga Evvy Kartini,
satu dari sepuluh ahli nuklir yang ada di dunia. Memiliki reputasi menawan di
kancah intrenasional sebagai ilmuwan penemu penghantar listrik berbahan gelas.
Seorang Desi Anwar, jurnalis senior Indonesia
yang menguasai tiga bahasa dunia, dan pernah wawancarai khusus tokoh-tokoh
hebat dunia, sekelas Bill Gates, Dalai Lama Barack Obama, dan Zinedine Zidane. Di
dunia entertain, ada Anggun C. Sasmi,
perempuan eksotis asal Indonesia yang sempat merajai panggung musik di
Perancis.
Meski di sisi lain, kita tak bisa menutup mata
kasus diskriminasi dan kekerasan yang dialami perempuan. Beberapa sektor
swasta, masih menganggap perempuan sebagai kaum lemah. Fitrah perempuan yang mengalami proses menstruasi, hamil,
melahirkan, menyusui dianggap sebagai streotip negatif sebagian masyarakat.
Fakta ini melahirkan stigma perempuan memiliki keterbatasan fisik, hingga
membatasi ruang lingkupnya dalam bergerak.
Tanpa disadari, bahwa potensi terbesar perempuan yakni sebagai makhluk multitasking, mudah mengerjakan beberapa
pekerjaan sekaligus. Serta teliti dalam tindak, tanduk, dan tunduk.
Data
dari Komnas Perempuan, 173 perempuan dibunuh di Indonesia pada tahun 2017, dan
95 persen pembunuhnya pria. Ada juga dari Layanan Bantuan Hukum (LBH) APIK
Makassar mencatat 130 kasus yang dialami perempuan di Makassar tahun 2017. Dan
sebagian besar kasusnya adalah KDRT dan kekerasan seksual. Fakta ini harus
menjadi perhatian serius pemerintah. Memberi hukuman setimpal pada para pelaku.
Dan memproduksi peraturan atau kebijakan yang memihak kepada perempuan. Karena
sejatinya, perempuan memegang peranan penting sebagai kunci peradaban. Sebab
peradaban besar dimulai dari institusi terkecil, yakni rumah tangga. Embrionya
ada di tangan perempuan.
0 komentar:
Posting Komentar