RSS

Rabu, 13 Februari 2013

T O T A L I T A S



Akhir-akhir ini, saya muak menonton headline news di tiap saluran televisi. Membaca headline koran pun sama muaknya. Semua mengarah pada satu hal. Dugaan korupsi. Hal yang sepertinya telah mendarahdaging di negeri ini. Silih berganti, sang legislator terhormat diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus korupsi. Ada yang telah berstatus tersangka, maupun tahap saksi. Hal yang sama terjadi pada kepala dan mantan kepala daerah tingkat kota/kabupaten dan provinsi, ketua umum partai, level menteri, dan yang lebih menyedihkan presiden partai berkarakter Islam tak luput dari dugaan keterlibatan korupsi. Jumlah yang dikeruknya semua  bernilai milyar. Nilai yang sejatinya sangat efektif, jika membangun fasilitas-fasilitas umum untuk rakyat miskin di pedalaman.
            Saya tak berwenang untuk mengklaim siapa yang benar dan salah pada kasus mereka. Apakah ada rantai panjang dibalik keterlibatan kasus korupsi mereka! Ataukah semua dilakukan secara nafsih-nafsih, ataukah di luar kesadaran mereka, ataukah untuk kepentingan pihak tertentu, ataukah mereka hanya tumbal dari penyelewengan arus politik. Entahlah, hanya mereka dan tuhannya sendiri yang tahu. Karena lembaga se-kredibel KPK dan aparat terkait pun harus cukup bukti kuat untuk memberi vonis atas tindak tanduk mereka, menguras  harta rakyat.
            Kesempatan bisa jadi selalu menyapa hangat. Seperti itulah mungkin yang dirasakan para pejabat teras kita. Kesempatan untuk menimbun dan meng-kayakan diri sendiri terhampar nyata. Banyak celah yang bisa dilaluinya. Belum lagi pelunasan kontrak-kontrak dengan oknum yang melelang kekuasaannya. Huftt, semoga Tuhan segera meluruskan jalan mereka.
            Media online pun tak ketinggalan mewartakan perkembangan terbaru para elite ini. Muak sudah saya dengan pemberitaan ini. Hingga tak sengaja, kursor laptop mengarah pada satu video peristiwa 21 tahun silam. Sore ini, memang  saya lagi bersantai lepas jam  kantor, sedikit berselancar di dunia maya, dan membaca hal-hal menarik.
            Sebagian dari kita mungkin sudah pernah melihat  atau mendengar kisah ini. Dan saya harus menyalahkan diri sendiri, karena lepas 21 tahun berlalu. Kisah inspiratif ini baru sekarang kuketahui. Kisah ini terjadi pada olimpiade musim panas di Barcelona tahun 1992. Adalah Derek Redmond, peraih medali emas untuk lari estafet 4x400 meter pada Kejuaraan Dunia, Kejuaraan Eropa dan Pekan Olahraga antar negara Commonwealth.
Derek meringis kesakitan karena cidera
 Pada olimpiade Barcelona ini, dia difavoritkan meraih medali emas karena prestasinya sebagai pemegang rekor nasional Inggris untuk lari 400 meter. Terlebih ambisinya,yang memang belum pernah menjuarai olimpiade. Pada olimpiade sebelumnya, kakinya cidera sebelum pertandingan, sehingga kesempatan mengikuti olimpiade bergengsi ini lewat begitu saja. Latihan keras pun dilakukan demi mimpi memenangkan olimpiade ini. Tekadnya sudah bulat, dia mencintai olahraga lari. Menjadi juara adalah harga mati, untuk pembuktian totalitasnya terhadap olahraga ini. Inggris mendukungnya dan menjagokannya. Semua penonton merasa optimis Derek akan memenangkan olimpiade dunia ini. Pertandingan berlangsung, dan Derek memang memimpin unggul. Namun tak ada yang menyangka, pada meter ke 225, tiba-tiba ia cidera parah. Kaki kanannya mendadak lumpuh. Dan karena sakit yang luar biasa, Derek terjatuh. Ia terisak-isak menahan sakit.
Ia perlahan-lahan bangun, dan dengan terpincang-pincang berusaha lari, meski dengan kaki yang teramat perih, Derek ingin menuntaskannya hingga garis finish. Beberapa official, tim medis, dan panitia sudah menghalanginya. Menyuruhnya ke luar lapangan saja, karena khawatir itu akan mempertaruhkan nyawanya. Namun Derek tidak menggubrisnya. Adalah Jim Redmond. Ayah Derek yang kemudian berani menembus ribuan penonton dan penjaga keamanan demi menolong sang anak. Sang Ayah yang tak kuasa melihat kegigihan anaknya, akhirnya turut membantu memapah Derek. Tidak ada kata menyerah, berhenti berlari lalu keluar lapangan sama saja dengan pengecut.
 Jadi, dengan kaki tertatih yang tersayat-sayat pedihnya itu. Jadilah Derek ditopang oleh ayahandanya menempuh sisa 175 meter meraih garis finish. Derek otomatis kalah, tapi dia membuktikan  kemenangannya kepada 65 ribu pasang mata yang menyaksikan langsung pertandingan ini, yang kemudian berbuah standing ovation. Dia teramat mencintai olahraga lari, dan tak akan menyerah begitu saja.  Sebuh totalitas yang amat indah. Meskipun hasilnya adalah pendiskualifikasian dan penegasan tak layak lagi menjadi atlet lari nasional Inggris. Meski begitu, seluruh Inggris menghormatinya dan berdecak kagum pada totalitasnya.
            Kisah ini mengajarkan kita untuk total pada apapun yang kita pilih dan tekuni. Tengoklah para elite kita. Apakah ada yang mau berkorban seperti Derek?Mati-matian membuktikan kecintaannya pada tanggungjawab profesinya. Itu sajalah dulu, karena membuktikan kecintaan pada Bumi Pertiwi, yang penduduknya adalah terpadat keempat di dunia sepertinya masih lah sebatas  awang-awang. Karena praktek mencuri uang negara masih merajalela.
   Masih totalkah pada janji sebagai kepanjangan tangan masyarakat?Untuk sekelas  menteri atau pejabat-pejabat teras lain. Mati-matiankah mereka pada peran dan tanggungjawabnya pada rakyat banyak? Banyak hal memang yang selalu jadi kambinghitam. Terutama di politik adalah soal kepentingan partai. Kereta laju mereka. Tapi ini semua persoalan pilihan. Ketika kita telah memilih dan berkomitmen pada satu pilihan, maka esensi itu akan berubah wujud menjadi sesuatu yang dicintai, sehingga olehnya kita harus total sampai pada titik darah  penghabisan.  Dan tidak berbuat hal yang justru mencemari totalitas kita.
Jiwa patriot seperti inilah yang belum dimiliki para pemimpin kita, yang terlibat kasus  Korupsi. Kesediaannya untuk rela berkoban, demi sebuah totalitas dan berujung loyalitas.  Saya yakin, orang-orang yang total dalam segala hal, adalah manusia-manusia terdepan. Yang akan  membuat seisi semesta sungkan padanya. Sekelumit kisah ini barangkali kisah usang, tapi kaya pesan untuk kita semua. Di tengah pusaran kebahagiaan duniawi yang sering menyapa. Masihkah totalitas menjadi pegangan kita?

(12 Februari 2013)




0 komentar:

Posting Komentar