Akhir-akhir ini, saya muak menonton
headline news di tiap saluran televisi. Membaca headline koran pun sama
muaknya. Semua mengarah pada satu hal. Dugaan korupsi. Hal yang sepertinya
telah mendarahdaging di negeri ini. Silih berganti, sang legislator terhormat diciduk
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus korupsi. Ada yang telah
berstatus tersangka, maupun tahap saksi. Hal yang sama terjadi pada kepala dan mantan
kepala daerah tingkat kota/kabupaten dan provinsi, ketua umum partai, level menteri,
dan yang lebih menyedihkan presiden partai berkarakter Islam tak luput dari
dugaan keterlibatan korupsi. Jumlah yang dikeruknya semua bernilai milyar. Nilai yang sejatinya sangat
efektif, jika membangun fasilitas-fasilitas umum untuk rakyat miskin di
pedalaman.
Saya tak berwenang untuk mengklaim
siapa yang benar dan salah pada kasus mereka. Apakah ada rantai panjang dibalik
keterlibatan kasus korupsi mereka! Ataukah semua dilakukan secara
nafsih-nafsih, ataukah di luar kesadaran mereka, ataukah untuk kepentingan
pihak tertentu, ataukah mereka hanya tumbal dari penyelewengan arus politik.
Entahlah, hanya mereka dan tuhannya sendiri yang tahu. Karena lembaga se-kredibel
KPK dan aparat terkait pun harus cukup bukti kuat untuk memberi vonis atas
tindak tanduk mereka, menguras harta
rakyat.
Kesempatan bisa jadi selalu menyapa
hangat. Seperti itulah mungkin yang dirasakan para pejabat teras kita.
Kesempatan untuk menimbun dan meng-kayakan diri sendiri terhampar nyata. Banyak
celah yang bisa dilaluinya. Belum lagi pelunasan kontrak-kontrak dengan oknum
yang melelang kekuasaannya. Huftt, semoga Tuhan segera meluruskan jalan mereka.
Media online pun tak ketinggalan
mewartakan perkembangan terbaru para elite ini. Muak sudah saya dengan pemberitaan
ini. Hingga tak sengaja, kursor laptop mengarah pada satu video peristiwa 21
tahun silam. Sore ini, memang saya lagi
bersantai lepas jam kantor, sedikit berselancar
di dunia maya, dan membaca hal-hal menarik.
Sebagian dari kita mungkin sudah pernah
melihat atau mendengar kisah ini. Dan
saya harus menyalahkan diri sendiri, karena lepas 21 tahun berlalu. Kisah
inspiratif ini baru sekarang kuketahui. Kisah ini terjadi pada olimpiade
musim panas di Barcelona tahun 1992. Adalah Derek Redmond, peraih medali emas
untuk lari estafet 4x400 meter pada Kejuaraan Dunia, Kejuaraan Eropa dan Pekan
Olahraga antar negara Commonwealth.
Derek meringis kesakitan karena cidera |
Ia perlahan-lahan bangun, dan dengan
terpincang-pincang berusaha lari, meski dengan kaki yang teramat perih, Derek
ingin menuntaskannya hingga garis finish. Beberapa official, tim medis, dan
panitia sudah menghalanginya. Menyuruhnya ke luar lapangan saja, karena
khawatir itu akan mempertaruhkan nyawanya. Namun Derek tidak menggubrisnya. Adalah
Jim Redmond. Ayah Derek yang kemudian berani menembus ribuan penonton dan
penjaga keamanan demi menolong sang anak. Sang Ayah yang tak kuasa melihat
kegigihan anaknya, akhirnya turut membantu memapah Derek. Tidak ada kata
menyerah, berhenti berlari lalu keluar lapangan sama saja dengan pengecut.
Jadi, dengan kaki tertatih yang tersayat-sayat
pedihnya itu. Jadilah Derek ditopang oleh ayahandanya menempuh sisa 175 meter
meraih garis finish. Derek otomatis kalah, tapi dia membuktikan kemenangannya kepada 65 ribu pasang mata yang
menyaksikan langsung pertandingan ini, yang kemudian berbuah standing ovation.
Dia teramat mencintai olahraga lari, dan tak akan menyerah begitu saja. Sebuh totalitas yang amat indah. Meskipun
hasilnya adalah pendiskualifikasian dan penegasan tak layak lagi menjadi atlet
lari nasional Inggris. Meski begitu, seluruh Inggris menghormatinya dan
berdecak kagum pada totalitasnya.
Kisah ini mengajarkan kita untuk
total pada apapun yang kita pilih dan tekuni. Tengoklah para elite kita. Apakah
ada yang mau berkorban seperti Derek?Mati-matian membuktikan kecintaannya pada tanggungjawab
profesinya. Itu sajalah dulu, karena membuktikan kecintaan pada Bumi Pertiwi,
yang penduduknya adalah terpadat keempat di dunia sepertinya masih lah
sebatas awang-awang. Karena praktek
mencuri uang negara masih merajalela.
Masih
totalkah pada janji sebagai kepanjangan tangan masyarakat?Untuk sekelas menteri atau pejabat-pejabat teras lain.
Mati-matiankah mereka pada peran dan tanggungjawabnya pada rakyat banyak? Banyak
hal memang yang selalu jadi kambinghitam. Terutama di politik adalah soal
kepentingan partai. Kereta laju mereka. Tapi ini semua persoalan pilihan.
Ketika kita telah memilih dan berkomitmen pada satu pilihan, maka esensi itu
akan berubah wujud menjadi sesuatu yang dicintai, sehingga olehnya kita harus
total sampai pada titik darah penghabisan. Dan tidak berbuat hal yang justru mencemari
totalitas kita.
Jiwa patriot seperti inilah yang belum
dimiliki para pemimpin kita, yang terlibat kasus Korupsi. Kesediaannya untuk rela berkoban,
demi sebuah totalitas dan berujung loyalitas. Saya yakin,
orang-orang yang total dalam segala hal, adalah manusia-manusia terdepan. Yang
akan membuat seisi semesta sungkan
padanya. Sekelumit kisah ini barangkali kisah usang, tapi kaya pesan untuk kita
semua. Di tengah pusaran kebahagiaan duniawi yang sering menyapa. Masihkah
totalitas menjadi pegangan kita?
(12 Februari 2013)
0 komentar:
Posting Komentar