Matahari lagi
garang-garangnya siang itu. Sangat terik,
hingga ubun-ubun ini penuh oleh rekahan keringat. Untuk kepentingan kantor, saya mengunjungi
salah satu koperasi di pusat Kota Maros. Dan lagi, untuk keperluan survei keuangan
lembaga, dalam hal ini sektor koperasi. Koperasi ini tepatnya menaungi guru-guru SD di
Kota Maros. Keluar dari ruangan bendahara, dua ibu-ibu yang kutaksir umurnya
berkepala lima sontak menanyaiku
mengenai ketersediaan uang, serta jumlah uang yang hendak kupinjam. Saya menimpali tersenyum. Dan mereka
lalu nyerocos tanpa kutanyai, bahwa keperluannya kali ini untuk meminjam beberapa
juta duit untuk keperluan kuliah. Mengejar pendidikan strata satu. Saya pun
mempertegas. Apakah yang ingin kuliah benar mereka? atau anak? ataukah
cucunya?Dan mereka kompak menjawab, kuliah untuk diri mereka sendiri.
Naluri rasa ingin tahu saya keluar. Kuliah?Edan saja
kedengarannya. Pendidikan memang tidak mengenal umur. Justru saya sangat bangga
dan iri hati, jika melihat ada orang tua di masa senjanya dengan serius ingin
belajar di kelas formal lagi. Tapi aneh saja rasanya, melihat fisiknya yang
sudah mengerut, stamina yang tidak segar,
terlebih beberapa bulan lagi menurut dari mereka akan memasuki masa
purnabakti. Dan dengan tekad bulat ingin kuliah? Memunculkan tanda tanya besar
pastinya.
Dari hasil perbincangan,
ternyata niat mereka terkuak sendiri. Ada
kekhawatiran akan tanggungan masa pensiun mereka kelak. Bahwasanya oleh
Kementerian Dalam Negeri tidak akan memuluskan jaminan masa tua mereka, jika
hanya mentok di pendidikan SMU. Sontak saja, mereka kelimpungan mencari pinjaman
yang tidak sedikit untuk menggengam gelar sarjana. Koperasi ini adalah tempat paling
pas untuk mendapat bantuan tunai secepatnya. Dan juga, beberapa Perguruan Tinggi
Swasta (PTS) telah diselidikinya, untuk mendapat tempat yang paling pas dan
cepat mengeluarkan ijazah yang diinginkan.
Miris memang. Pendidikan oleh
sebagian besar orang dianggap hanya alat pemuas kepentingan duniawi saja. Hanya
pemanis di belakang nama saja. Dan penyempurna kebutuhan administrasi ketika
melamar kerja dan kelengkapan berkas lainnya. Padahal esensi dari pendidikan
itu, tidak lebih dari upaya mencerdaskan diri sendiri dan bangsa. Jika
guru-guru setipe ini saja berpikir dangkal, berupaya membeli ‘gelar’ pendidikan, bagaimana
nasib anak didik mereka di ruang-ruang kelas. Esensi pendidikan mestinya
diperkokoh sejak dini pada anak didik kita dmanapun berada. Bahwa untuk meraih
gelar ‘berpendidikan’ secara utuh harus dengan kerja keras dan mental baja. Salah
besar jika menukarnya dengan
lembar-lembar rupiah dan kekayaan.
Saya teringat pula, seorang
teman yang dengan bangga menceritakan
kelulusannya menjadi Pegawai Negeri Sipil di salah satu kementerian bergengsi.
Dan tak kalah bangga, dia lantangkan satu hal yang memuluskan
kelulusannya. Membeli ‘gelar’ di salah
satu PTS di Makassar, yang sesuai spesifikasi ilmu yang dicarinya. Sangat
gampang baginya.
Yah, seperti itulah realitas yang
tersaji di depan mata. Pendidikan memang tak mengenal umur. Muda dan tua, semua
punya hak untuk mengejar pendidikan setinggi-tingginya. Tapi pada
faktanya, Si Muda dan Si Tua ini malah
satu misi untuk membeli pendidikan tinggi ini untuk tujuan terselubung. Maka, berbanggalah
mereka yang meraih sebaik-baik pendidikan itu dengan kejujuran, kerja keras,
dan mental petarung. Sejauh ini, saya masih sepakat bahwa intisari pendidikan
itu adalah proses. Proses menerima ilmu, dan mencerna ilmu itu secara bijak dan
mencari pembenaran di atas diktat-diktat kuliah , ruang-ruang diskusi,
buku-buku bacaan, dan forum ilmiah lainnya. Dan mental petarung itu sungguh
teruji tatkala mendekati garis finish. Dimana kekuatan dan ujian justru datang
dalam berbagai bentuk. Seolah ingin menguji mental kita di ujung perjuangan.
Akhir perbincangan, saya sempat bertanya kepada kedua Ibu ini. Apakah
Ibu-Ibu ingin anak didiknya kelak berhasil?Jika mereka berhasil dengan jalan curang dan tidak jujur, apakah Ibu-Ibu
tetap bangga?Keduanya terdiam dan tertunduk malu.Mari tanyakan pada diri sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar