RSS

Rabu, 10 April 2013

Potret Buram ‘PENDIDIKAN’ Kita



Matahari  lagi garang-garangnya siang itu. Sangat terik,  hingga ubun-ubun ini penuh oleh rekahan keringat.  Untuk kepentingan kantor, saya mengunjungi salah satu koperasi di pusat Kota Maros. Dan lagi, untuk keperluan survei keuangan lembaga, dalam hal ini sektor koperasi.  Koperasi ini tepatnya menaungi guru-guru SD di Kota Maros. Keluar dari ruangan bendahara, dua ibu-ibu yang kutaksir umurnya berkepala lima  sontak menanyaiku mengenai ketersediaan uang, serta jumlah uang yang hendak  kupinjam. Saya menimpali tersenyum. Dan mereka lalu nyerocos tanpa kutanyai, bahwa keperluannya kali ini untuk meminjam beberapa juta duit untuk keperluan kuliah. Mengejar pendidikan strata satu. Saya pun mempertegas. Apakah yang ingin kuliah benar mereka? atau anak? ataukah cucunya?Dan mereka kompak menjawab, kuliah untuk diri mereka sendiri.

Naluri rasa ingin tahu saya keluar. Kuliah?Edan saja kedengarannya. Pendidikan memang tidak mengenal umur. Justru saya sangat bangga dan iri hati, jika melihat ada orang tua di masa senjanya dengan serius ingin belajar di kelas formal lagi. Tapi aneh saja rasanya, melihat fisiknya yang sudah mengerut, stamina yang tidak segar,  terlebih beberapa bulan lagi menurut dari mereka akan memasuki masa purnabakti. Dan dengan tekad bulat ingin kuliah? Memunculkan tanda tanya besar pastinya.
            Dari hasil perbincangan, ternyata  niat mereka terkuak sendiri. Ada kekhawatiran akan tanggungan masa pensiun mereka kelak. Bahwasanya oleh Kementerian Dalam Negeri tidak akan memuluskan jaminan masa tua mereka, jika hanya mentok di pendidikan SMU. Sontak saja, mereka kelimpungan mencari pinjaman yang tidak sedikit untuk menggengam gelar sarjana. Koperasi ini adalah tempat paling pas untuk mendapat bantuan tunai secepatnya. Dan juga, beberapa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) telah diselidikinya, untuk mendapat tempat yang paling pas dan cepat mengeluarkan ijazah yang diinginkan.
            Miris memang. Pendidikan oleh sebagian besar orang dianggap hanya alat pemuas kepentingan duniawi saja. Hanya pemanis di belakang nama saja. Dan penyempurna kebutuhan administrasi ketika melamar kerja dan kelengkapan berkas lainnya. Padahal esensi dari pendidikan itu, tidak lebih dari upaya mencerdaskan diri sendiri dan bangsa. Jika guru-guru setipe ini saja berpikir dangkal,  berupaya membeli ‘gelar’ pendidikan, bagaimana nasib anak didik mereka di ruang-ruang kelas. Esensi pendidikan mestinya diperkokoh sejak dini pada anak didik kita dmanapun berada. Bahwa untuk meraih gelar ‘berpendidikan’ secara utuh harus dengan kerja keras dan mental baja. Salah  besar jika menukarnya dengan lembar-lembar rupiah dan kekayaan.
            Saya teringat pula, seorang teman  yang dengan bangga menceritakan kelulusannya menjadi Pegawai Negeri Sipil di salah satu kementerian bergengsi. Dan tak kalah bangga, dia lantangkan satu hal yang memuluskan kelulusannya.  Membeli ‘gelar’ di salah satu PTS di Makassar, yang sesuai spesifikasi ilmu yang dicarinya. Sangat gampang baginya.
            Yah, seperti itulah realitas yang tersaji di depan mata. Pendidikan memang tak mengenal umur. Muda dan tua, semua punya hak untuk mengejar pendidikan setinggi-tingginya. Tapi pada faktanya,  Si Muda dan Si Tua ini malah satu misi untuk membeli pendidikan tinggi ini untuk tujuan terselubung. Maka, berbanggalah mereka yang meraih sebaik-baik pendidikan itu dengan kejujuran, kerja keras, dan mental petarung. Sejauh ini, saya masih sepakat bahwa intisari pendidikan itu adalah proses. Proses menerima ilmu, dan mencerna ilmu itu secara bijak dan mencari pembenaran di atas diktat-diktat kuliah , ruang-ruang diskusi, buku-buku bacaan, dan forum ilmiah lainnya. Dan mental petarung itu sungguh teruji tatkala mendekati garis finish. Dimana kekuatan dan ujian justru datang dalam berbagai bentuk. Seolah ingin menguji mental kita di ujung perjuangan.
Akhir perbincangan, saya sempat bertanya kepada kedua Ibu ini. Apakah Ibu-Ibu ingin anak didiknya kelak berhasil?Jika mereka berhasil dengan  jalan curang dan tidak jujur, apakah Ibu-Ibu tetap bangga?Keduanya terdiam dan tertunduk malu.Mari tanyakan pada diri sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar