RSS

Rabu, 28 Februari 2018

Pedagang

Beberapa waktu lalu, saya menyempatkan diri belanja di satu mini market. Hal yang akhir-akhir ini sebenarnya saya hindari, sebab keberadaan Toserba di mall dekat rumah lebih komplit dan murah.

Namun, karena malas masuk ke mall cuma buat beli beberapa item, saya memilih singgah di mini market yang searah dengan jalur pulang dari kantor ke rumah.


Saya sebenarnya sadar, bahwa aksi kurang bersahabat kerap kali terjadi di mini market yang keberadaannya hampir ada di tiap 500 meter. Namun, beberapa teman pernah membeberkan trik buat tidak dirugikan. Price list yang berwarna kuning berarti harga promo atau diskon produk. "Cari yang label kuning, biasanya harganya lebih murah," teringat pesan teman.

Iseng, saya pun mencari label kuning di rak produk. Dan taradahhh. Ada cemilan yang Kiyyah biasa suka. Harga mormalnya ialah 9000-9500. Sementara di price list tertera 7700. Meski selisih sedikit, ini adalah kabar menyenangkan bagi emak-emak . Sama bahagianya ketika berhasil menawar ikan  di  pasar dengan harga lebihrendah. Sensasinya sama.

Saya lantas mengambil snack tersebut. Dan lagi, masalah klasik tetap terulang. Harga di price list berbeda dengan struk belanjaan. Tak terima, saya protes ke kasir dan manajemennya. Mereka beralibi bahwa masa promo produk tersebut telah lewat tiga hari lalu. Saya sergap dengan melempar kalimat mempertanyakan kenapa infonya tidak dicabut tiga hari lalu juga. Ini menyesatkan. Lantas mereka balik menyalahkan saya yang tidak awas dalam melihat price list. Gubrakkk😡🙉

Keesokan harinya, suami yang pulang membawa sekantongan rambutan. Iseng, kami cek dengan timbangan  normal  di rumah. Dan bisa ditebak. Rambutan yang dibeli  sekilo, setelah ditimbang hanya 800 gram, selisih 200 gram.

Hal yang sama ketika kami juga membeli beras. Berat yang tertera, tidak sesuai dengan berat asli beras ketika kami timbang, dikurangi dengan estimasi berat karungnya pun tetap jauh.

Kenyataan di atas adalah pemandangan lumrah di sekitar kita. Mau berontak, marah, protes, percuma. Berulang terus menerus. Seolah sudah jadi budaya melakukan kebohongan publik. Untuk mendapat laba setinggi-tingginya dengan biaya serendah-rendahnya. Segala cara dihalalkan oknum pedagang untuk meraup keuntungan maksimum.

Hal ini digambarkan sendiri dalam beberapa surah di Al Quran. Al Muthaffifin 1-5 misalnya, mereka orang -orang yang meminta timbangan dan takaran yang baik dan pas untuk dirinya sendiri, namun jika menimbang atau menakar untuk orang lain, mereka kurangi. Dalam istilah bugis dinamai jekkong atau kalasi. Yakni orang yang ingin menang dengan jalan mencurangi orang lain tanpa pandang bulu. Mengambil hak orang lain melalui selisih timbangan adalah dosa besar yang akan dipertanggungjawabkan kelak.

Saya tidak berbicara aksinya itu terstruktur atau independen. Disuruh atau tidak. Selama ada kebohongan dan rekayasa timbangan di sana. Mencuri se- sen pun hak orang adalah perbuatan tidak terpuji. Dan bisa melahirkan ketidakpercayaan bagi siapapun yang terlibat.

Tidakkah mereka malu pada Rasulullah SAW, yang justru menghabiskan seluruh hartanya di jalan Allah. Sukses berdagang dengan penuhh kejujuran dan kemuliaan, mengambil untung sewajarnya saja. Lebih mengedepankan relasi hubungan baik kedua belah pihak.

Padahal sesunguhnya, jikapun para oknum pedagang tersebut jujur, mungkin pendapatan yang datang tidaklah seberapa. Tapi kepercayaan, pertemanan, hubungan baik, rasa tenang akan mengalir. Terlebih berkah untuk keluarganya. Sembilan dari sepuluh pintu rezky memang dari usaha/perdagangan. Tapi pintu-pintu rezky (kepercayaan dan relasi) akan tertutup/terkunci jika curang dan sifat khianat masih berkeliaran. Sekarang saya tanya, masih maukah kita kembali kepada pedagang yang curang? Mari cerdas  dalam berbelanja.❤😇
#PerempuanBPSMenulis
#MenulisAsyikBahagia
#15HariBercerita
#Harike-14

0 komentar:

Posting Komentar